Selasa, 29 September 2009

Fenomena perjuangan Papua Merdeka



Oleh:PETRUS PIT SUPARDI
Hampir selama 32 tahun dalam era Orde Baru, Papua tetap menjadi pulau yang dilupakan. Papua dengan sumber daya alam yang melimpah hanya menjadi dapur bagi daerah lain di Republik ini. Segala kekayaan di perut bumi Papua, berupa minyak, emas, tembaga, dan lainnya serta keragaman hayati di permukaan bumi Papua, dikeruk dan dimanfaatkan untuk kepentingan kaum elite yang tinggal di pusat. Apa yang orang Papua dapatkan dari hasil kekayaan alamnya?

Orang Papua mengalami bahwa di satu sisi sumber daya alam habis dan serentak pula mobilisasi kaum imigran ke Pulau Papua kian tidak terbendung. Akibatnya, bukan hanya sumber daya alam yang habis, tetapi nilai-nilai budaya dan warisan leluhur pun ikut terkikis. Di sini muncul dilema, apa yang harus dilakukan agar orang Papua tetap eksis di atas tanahnya?

Untuk menebus dan mengembalikan citra orang Papua, maka berbagai upaya telah dan sedang dilakukan. Upaya yang sedang tenar dan menjadi wacana publik ialah dialog Papua-Jakarta.

LIPI menerbitkan hasil penelitian tentang Papua, Papua Roadmap, yang menampilkan sebagian wajah Papua. Demikian halnya buku Dialog Jakarta-Papua karya Neles Tebay yang memaparkan langkah-langkah dialog bagi Papua.

Persoalannya, belum adanya kemauan pemerintah untuk membuka ruang dialog dengan orang Papua. Alasannya beragam, di antaranya intensitas konflik di Papua terbilang rendah. Pertanyaannya, apakah harus ada pertumpahan darah lebih dulu baru dilakukan dialog di Papua?

Sejarah Papua

Tak dapat disangkal, orang Papua memiliki sejarahnya sendiri sebelum diintegrasikan ke pangkuan NKRI. Orang Papua memiliki pengalaman, mereka pernah menjadi bangsa merdeka lengkap dengan atribut kebangsaan, bendera bintang kejora, lagu kebangsaan ”Hai Tanahku Papua”, dan lambang negara Burung Mambruk. Simbol kenegaraan ini pernah ada dan dikumandangkan di atas tanah Papua.

Identitas orang Papua ini diatur dalam UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Namun, ketika nilai dan warisan masa lalu ini hendak diangkat dan ditetapkan sebagai simbol kultural orang Papua, Pemerintah Indonesia mengeluarkan PP No 77/2007 yang mengatur lambang daerah dan tidak mengizinkan bendera bintang kejora dipakai sebagai simbol kultural orang Papua. Fakta ini menunjukkan, Pemerintah Indonesia belum memiliki niat dan komitmen menyelesaikan sejarah orang Papua secara tuntas.

Ingatan akan penderitaan (memoria passionis) mengantar orang Papua kembali ke masa lalu, masa mereka mengalami kemerdekaan. Di sinilah benih-benih pergerakan kemerdekaan kembali bergema. Penderitaan membangkitkan semangat untuk berjuang merebut kemerdekaan.

Peningkatan kesejahteraan

Filosofi yang dibangun oleh Indonesia dan para pejuang pembebasan Papua Barat adalah prinsip harga mati. Bagi Indonesia, NKRI harga mati. Demikian halnya Papua Merdeka adalah harga mati bagi pejuang pembebasan Papua. Setiap pihak bersikukuh dan mengklaim pihaknya di posisi paling benar. Dalam situasi ini perlu dicarikan alternatif, jalan tengah, guna meredam sekaligus mempertemukan pihak-pihak yang mengklaim sebagai yang paling berhak atas Papua.

Pembenahan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan orang Papua merupakan alternatif penting dalam membangun Papua yang adil dan jujur. Juga peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan yang baik harus segera dilaksanakan.

Mengherankan, otsus Papua sudah berjalan hampir delapan tahun. Pada saat bersamaan dana yang dialirkan sebanyak Rp 18 triliun lebih, tetapi tidak mampu memperbaiki nasib orang Papua yang hanya berjumlah 1,5 juta. Aneh tetapi nyata. Lalu, di mana letak kekeliruan pelaksanaan otsus bagi Papua?

Pemerintah Indonesia perlu membuka dialog bagi orang Papua. Segala kesepakatan yang terkait kehidupan dan masa depan orang Papua harus dilahirkan melalui dialog. Tanpa dialog, deklarasi Papua Tanah Damai yang dicanangkan para pemimpin agama di tanah Papua tidak akan terwujud. Karena itu, pemerintah pusat perlu mendengarkan suara orang Papua yang tiap hari berteriak meminta dialog yang adil dan jujur di Papua. Dialog merupakan solusi untuk berbagai persoalan di Papua.

Apakah perdamaian dan kesejahteraan akan lahir di atas tanah Papua yang hingga kini masih dilanda penderitaan karena ketidakadilan?

PETRUS PIT SUPARDI Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura, Papua Kompas,11 Agustus2009

Jumat, 25 September 2009

Jangan Biarkan, Sabang Tinggal Kenangan

Jalan Perdagangan, Kota Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, awal Agustus. Jarum jam menunjuk pukul 20.00. Kendaraan dan pedagang berebut tempat di jalanan ini. Satu-dua toko masih membuka pintu, terhalangi pedagang kaki lima yang memenuhi separuh badan jalan dan trotoar. Malam itu, lagu Tak Gendong milik Mbah Surip yang sedang ngetop-ngetop-nya terdengar nyaring dari salah satu lapak penjual cakram padat. Di sini, sekeping cakram padat bajakan dihargai Rp 10.000, sedikit lebih mahal ketimbang seporsi sate gurita bersaus kacang lengkap dengan irisan lontong yang hanya Rp 7.000.
Jalan Perdagangan adalah jantung perekonomian Sabang. Beberapa gedung di jalan itu juga adalah kantor perdagangan asing pada awal tahun 1900-an. Bila kita berjalan sedikit ke arah barat, bisa ditemukan gudang tua yang sebagian besar tak terawat meski beberapa di antaranya masih digunakan.
Sabang dengan sisa keramaian di Jalan Perdagangan adalah nukilan masa lalu yang indah. Bagi Mustofa (60), Sabang kini sama sekali tidak ada apa-apanya. Yang tersisa di Sabang saat ini belum ”seujung kuku” kejayaan Sabang di masa lalu. Pada periode 1970-an, Sabang adalah kota pelabuhan yang ramai. Aktivitas perdagangan dihidupkan oleh kemudahan masuknya barang impor berharga murah.
Sejak akhir era 1970-an sampai menjelang era 1990-an sering kali Mustofa, yang pegawai di salah satu badan usaha milik negara (BUMN), kerap pergi-pulang Jakarta-Medan-Banda Aceh, termasuk ke wilayah yang dikenal dengan barang impor nan murah. Kala itu, ia mengibaratkan Sabang sebagai sebuah kota yang tidak pernah mati. Seringnya kapal dagang dari berbagai negara, seperti Malaysia dan Singapura, merapat di kota itu membuat Kota Sabang melek 24 jam. ”Kalau tak salah, Jalan Perdagangan adalah jalan yang paling ramai. Di sana pusat penjualan barang impor, murah. Hampir semua ada,” katanya.
Mustofa mengingat Jalan Perdagangan sebagai lokasi penjualan yang padat. Hanya pejalan kaki yang bisa lewat dengan santai di jalanan sepanjang hampir satu kilometer itu. Trotoar di kanan-kiri jalan serta sebagian badan jalan digunakan sebagai tempat berjualan. Barang pecah belah, mulai dari piring, gelas, mangkuk, hingga lampu kristal, berserakan di pinggiran jalan.
Mustofa menuturkan, bila ada kapal barang yang hendak merapat ke pelabuhan, jengek atau kuli barang pelabuhan berlomba mendekat dan membawa barang itu ke daratan. Tak jarang, jengek menaruh barang itu di balik bajunya. ”Sampai-sampai badannya kelihatan gemuk. Kempis lagi setelah barang itu diturunkan di sekitar Jalan Perdagangan,” kenang dia.
Bayangan Jalan Perdagangan sebagai pusat grosir barang impor masih membekas ketika kini jalan ini masih merupakan kawasan utama perdagangan di Pulau Weh atau Kota Sabang. Namun, barang yang dijualbelikan tidak seperti dulu. Meski masih banyak toko kelontong di sana, barang-barang sebagian besar dipasok dari kota-kota di Sumatera dan Pulau Jawa.
Lupakan juga soal mobil impor wah, namun berharga murah, yang dulu pernah jadi ikon Sabang. Tidak ada lagi surga mobil impor dari Singapura, Thailand, dan Malaysia. Mobil yang masuk mangkrak di gudang importir, tidak bisa keluar, karena polisi tidak bisa lagi menerbitkan surat.
Kemandekan Sabang berimbas pada kenaikan harga barang. Dullah, warga Sabang, menuturkan, harga barang bahkan lebih mahal dibandingkan dengan harga barang yang sama di Banda Aceh. Praktis di Sabang hanya gula impor yang masih murah. Satu zak ukuran 50 kilogram, gula impor hanya dihargai Rp 340.000, sementara harga gula lokal di Banda Aceh bisa mencapai Rp 420.000. Harga murah itu hanya bisa dinikmati warga Sabang karena gula impor terbatas bisa diedarkan di Kota Sabang.
Boleh juga mencoba membawanya sebagai oleh-oleh ke Banda Aceh. Namun, cerita ada seorang penduduk yang ditangkap karena membawa gula impor sebanyak tiga zak (saja!) sudah telanjur menyebar di kawasan Pelabuhan Sabang. ”Padahal, berapa sih orang Sabang menghabiskan gula? Gula kalau kelamaan basah, harganya turun,” kata Aching (60), pedagang gula di Jalan Perdagangan.
Kapan hidup lagi?
Sejak benar-benar terhenti pada awal era 1990-an, cahaya Sabang sebagai kawasan pelabuhan bebas redup. Namun, upaya untuk menghidupkan Sabang sebagai pelabuhan bebas kembali muncul awal 2000. Kemunculan itu sebagai bagian dari upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Pelabuhan Bebas Sabang. Untuk melaksanakan isi UU itu, pemerintah membentuk Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Namun, apa lacur. Sejak badan itu berdiri, sampai sekarang kondisi Sabang seperti mati suri. Dana ratusan miliar yang digelontorkan pemerintah untuk menghidupkan kembali kawasan Sabang belum terasa sampai sekarang. Bahkan, sebaliknya, konflik antara manajemen BPKS dan Dewan Kawasan Sabang lebih mengemuka dibandingkan dengan upaya pembangunan kembali kawasan ini. Di tingkat pusat, keinginan DPR mengubah status kawasan pelabuhan bebas Sabang menjadi status kawasan ekonomi khusus menenggelamkan upaya untuk menghidupkan kembali wilayah ini. Puncak konflik adalah permintaan penonaktifan kepala badan oleh Gubernur kepada DPR Aceh untuk kedua kalinya, awal September 2009.
Sekarang Sabang lebih dikenal sebagai salah satu tempat penyelaman yang menarik di Aceh. Kawasan Iboih, Gapang, dan Sumur Tiga menjadi salah satu daya tarik Sabang. Namun, kawasan Gapang mulai ditinggal turis karena lokasi itu tidak dikelola lagi oleh operator asing. Belum ada lagi operator baru untuk mengelola kawasan ini.
Tampaknya warga Sabang masih harus menunggu dalam waktu lama untuk bisa melihat kotanya menggeliat lagi. Konflik lebih mengemuka dibandingkan upaya pembangunan kembali. (Kompas,Mahdi Muhammad/Sidik Pramono)

Jangan Biarkan, Sabang Tinggal Kenangan

Jalan Perdagangan, Kota Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, awal Agustus. Jarum jam menunjuk pukul 20.00. Kendaraan dan pedagang berebut tempat di jalanan ini. Satu-dua toko masih membuka pintu, terhalangi pedagang kaki lima yang memenuhi separuh badan jalan dan trotoar. Malam itu, lagu Tak Gendong milik Mbah Surip yang sedang ngetop-ngetop-nya terdengar nyaring dari salah satu lapak penjual cakram padat. Di sini, sekeping cakram padat bajakan dihargai Rp 10.000, sedikit lebih mahal ketimbang seporsi sate gurita bersaus kacang lengkap dengan irisan lontong yang hanya Rp 7.000.
Jalan Perdagangan adalah jantung perekonomian Sabang. Beberapa gedung di jalan itu juga adalah kantor perdagangan asing pada awal tahun 1900-an. Bila kita berjalan sedikit ke arah barat, bisa ditemukan gudang tua yang sebagian besar tak terawat meski beberapa di antaranya masih digunakan.
Sabang dengan sisa keramaian di Jalan Perdagangan adalah nukilan masa lalu yang indah. Bagi Mustofa (60), Sabang kini sama sekali tidak ada apa-apanya. Yang tersisa di Sabang saat ini belum ”seujung kuku” kejayaan Sabang di masa lalu. Pada periode 1970-an, Sabang adalah kota pelabuhan yang ramai. Aktivitas perdagangan dihidupkan oleh kemudahan masuknya barang impor berharga murah.
Sejak akhir era 1970-an sampai menjelang era 1990-an sering kali Mustofa, yang pegawai di salah satu badan usaha milik negara (BUMN), kerap pergi-pulang Jakarta-Medan-Banda Aceh, termasuk ke wilayah yang dikenal dengan barang impor nan murah. Kala itu, ia mengibaratkan Sabang sebagai sebuah kota yang tidak pernah mati. Seringnya kapal dagang dari berbagai negara, seperti Malaysia dan Singapura, merapat di kota itu membuat Kota Sabang melek 24 jam. ”Kalau tak salah, Jalan Perdagangan adalah jalan yang paling ramai. Di sana pusat penjualan barang impor, murah. Hampir semua ada,” katanya.
Mustofa mengingat Jalan Perdagangan sebagai lokasi penjualan yang padat. Hanya pejalan kaki yang bisa lewat dengan santai di jalanan sepanjang hampir satu kilometer itu. Trotoar di kanan-kiri jalan serta sebagian badan jalan digunakan sebagai tempat berjualan. Barang pecah belah, mulai dari piring, gelas, mangkuk, hingga lampu kristal, berserakan di pinggiran jalan.
Mustofa menuturkan, bila ada kapal barang yang hendak merapat ke pelabuhan, jengek atau kuli barang pelabuhan berlomba mendekat dan membawa barang itu ke daratan. Tak jarang, jengek menaruh barang itu di balik bajunya. ”Sampai-sampai badannya kelihatan gemuk. Kempis lagi setelah barang itu diturunkan di sekitar Jalan Perdagangan,” kenang dia.
Bayangan Jalan Perdagangan sebagai pusat grosir barang impor masih membekas ketika kini jalan ini masih merupakan kawasan utama perdagangan di Pulau Weh atau Kota Sabang. Namun, barang yang dijualbelikan tidak seperti dulu. Meski masih banyak toko kelontong di sana, barang-barang sebagian besar dipasok dari kota-kota di Sumatera dan Pulau Jawa.
Lupakan juga soal mobil impor wah, namun berharga murah, yang dulu pernah jadi ikon Sabang. Tidak ada lagi surga mobil impor dari Singapura, Thailand, dan Malaysia. Mobil yang masuk mangkrak di gudang importir, tidak bisa keluar, karena polisi tidak bisa lagi menerbitkan surat.
Kemandekan Sabang berimbas pada kenaikan harga barang. Dullah, warga Sabang, menuturkan, harga barang bahkan lebih mahal dibandingkan dengan harga barang yang sama di Banda Aceh. Praktis di Sabang hanya gula impor yang masih murah. Satu zak ukuran 50 kilogram, gula impor hanya dihargai Rp 340.000, sementara harga gula lokal di Banda Aceh bisa mencapai Rp 420.000. Harga murah itu hanya bisa dinikmati warga Sabang karena gula impor terbatas bisa diedarkan di Kota Sabang.
Boleh juga mencoba membawanya sebagai oleh-oleh ke Banda Aceh. Namun, cerita ada seorang penduduk yang ditangkap karena membawa gula impor sebanyak tiga zak (saja!) sudah telanjur menyebar di kawasan Pelabuhan Sabang. ”Padahal, berapa sih orang Sabang menghabiskan gula? Gula kalau kelamaan basah, harganya turun,” kata Aching (60), pedagang gula di Jalan Perdagangan.
Kapan hidup lagi?
Sejak benar-benar terhenti pada awal era 1990-an, cahaya Sabang sebagai kawasan pelabuhan bebas redup. Namun, upaya untuk menghidupkan Sabang sebagai pelabuhan bebas kembali muncul awal 2000. Kemunculan itu sebagai bagian dari upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Pelabuhan Bebas Sabang. Untuk melaksanakan isi UU itu, pemerintah membentuk Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Namun, apa lacur. Sejak badan itu berdiri, sampai sekarang kondisi Sabang seperti mati suri. Dana ratusan miliar yang digelontorkan pemerintah untuk menghidupkan kembali kawasan Sabang belum terasa sampai sekarang. Bahkan, sebaliknya, konflik antara manajemen BPKS dan Dewan Kawasan Sabang lebih mengemuka dibandingkan dengan upaya pembangunan kembali kawasan ini. Di tingkat pusat, keinginan DPR mengubah status kawasan pelabuhan bebas Sabang menjadi status kawasan ekonomi khusus menenggelamkan upaya untuk menghidupkan kembali wilayah ini. Puncak konflik adalah permintaan penonaktifan kepala badan oleh Gubernur kepada DPR Aceh untuk kedua kalinya, awal September 2009.
Sekarang Sabang lebih dikenal sebagai salah satu tempat penyelaman yang menarik di Aceh. Kawasan Iboih, Gapang, dan Sumur Tiga menjadi salah satu daya tarik Sabang. Namun, kawasan Gapang mulai ditinggal turis karena lokasi itu tidak dikelola lagi oleh operator asing. Belum ada lagi operator baru untuk mengelola kawasan ini.
Tampaknya warga Sabang masih harus menunggu dalam waktu lama untuk bisa melihat kotanya menggeliat lagi. Konflik lebih mengemuka dibandingkan upaya pembangunan kembali. (Mahdi Muhammad/Sidik Pramono)

Minggu, 20 September 2009

Thailand Selatan Rusuh Lagi, Korban sudah mencapai 3900 orang

Kerajaan Siam menganeksasi Kesultanan Pattani tahun 1902, Inggeris mengakui kedaulatan Siam atas Pattani tahun 1906, sebagai imbalannya Siam menyerahkan Kelantan, Perlis, Kedah dan Trengganu kepada Inggeris; dari saat itu wilayah tersebut seakan tak terperhatikan oleh pemerintah pusat di Thailand; karena ide dasarnya untuk menganeksasi kesultanan itu juga hanyalah sebagai daerah penyangga bagi Thailand, dari gempuran Inggeris yang pada saat itu telah menduduki Semenanjung Malaya. Wilayah itu kemudian berkembang jadi sarang penyamun, daerah tak bertuan, pusat peredaran narkoba dan tempat persembunyian para buronan. Para PNS dan militer yang ditugaskan ke wilayah itu, juga lebih merasakan sebagai hukuman daripada sebagai bertugas. Situasi politik di Thailand Selatan mulai bergolak setelah Perjanjian Kerajaan Siam-AS tahun 1904 dan 1909 yang mengakui kedaulatan Siam atas Pattani; sejak saat itu perlawanan seporadis sudah mulai tumbuh, utamanya dengan mempertentangkan nasionalisme Melayu lawan Kolonial Siam. Tetapi semua upaya perlawanan itu tak pernah berhasil (kompas,maruli tobing,9/5/2007)
Kini kerusuhan akibat ulah kelompok bersenjata kembali membara di Thailand selatan dalam tiga hari terakhir hingga Jumat (18/9). Empat orang tewas dalam peristiwa itu. Sejak kerusuhan bermotif agama ini muncul awal 2004, korban tewas telah mencapai sekitar 3.900 orang.

Polisi Thailand, Jumat (18/9), melaporkan kelompok separatis menembak mati empat orang, yakni dua polisi dan dua warga sipil, di Thailand selatan. Serangan terjadi di kawasan mayoritas berpenduduk Muslim di perbatasan dengan Malaysia itu.

Empat korban tewas itu ditembak di empat tempat berbeda. Seorang polisi yang sedang mengendarai sepeda motor untuk menjemput istrinya ditembak mati oleh kelompok bersenjata di Provinsi Pattani.

Di tempat lain di Pattani, regu polisi yang berpatroli diserang hingga menyebabkan seorang tewas dan dua lainnya luka-luka.

Masih di Pattani, kelompok bersenjata juga menembak seorang pria sipil di sebuah pasar penyedia bahan pokok. Pria yang menjabat wakil kepala desa itu akhirnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Warga sipil lain ditembak mati di toko grosir miliknya di Provinsi Narathiwat oleh dua orang yang menyamar sebagai pembeli.

Pada hari Jumat sekitar pukul 14.15, kelompok separatis juga meledakkan sebuah bom di pinggir jalan desa Jampun Ban di Tambon Thathong, Distrik Raman. Mereka hendak menyerang tujuh tentara dari satuan pengawal guru yang sedang mengendarai sepeda motor menuju Ban Jampun School.

Kantor dibakar

Sekelompok tentara yang akan mengawal guru-guru pulang dari sekolahnya itu dilempari sebuah bom rakitan lalu diikuti serangkaian tembakan. Sempat terjadi kontak senjata selama lima menit. Sekalipun berhasil memukul mundur kelompok separatis itu, tiga tentara terkena luka tembak, yaitu Sersan Arif Teng (26), Sersan Bunya Niloh (25), dan Sersan Jaturong Bungkaew (25).

Pada Jumat sore, sekelompok orang tidak dikenal juga membakar kantor Administrasi Tambon Yarang di Pattani. Petugas pemadam kebakaran berhasil memadamkan api. Sebelumnya, beberapa warga desa setempat mendengar ada serentetan tembakan senjata api, diduga dari kelompok militan.(AFP/The Nation Online/CAL)

Rabu, 16 September 2009

Bagaimana Pertahanan dan Keamanan Suatu Bangsa Kian Melemah


Oleh Harmen Batubara
Bangkok, Selasa - Kabinet Thailand hari Selasa (15/9) menyetujui diterapkannya Undang- Undang Keamanan Khusus guna mengantisipasi demonstrasi besar-besaran yang kemungkinan akan digelar pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra akhir pekan ini. Kabinet menyetujui diberlakukannya Undang-Undang Keamanan Khusus ini selama lima hari, mulai Jumat (18/9), di distrik sekitar kantor Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva. ”Kami ingin memastikan bahwa kami berniat menyelesaikan persoalan itu dengan segera bila perlu,” kata juru bicara pemerintah, Supachai Jaisamuth.

Penggunaan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (Internal Security Act/ISA) ini memungkinkan aparat keamanan Thailand membatasi ruang gerak para demonstran. Bahkan jika perlu bertindak cepat kalau-kalau kelompok anti-pemerintah— yang menamakan diri Front Persatuan untuk Demokrasi Melawan Kediktatoran (UDD) yang juga dikenal sebagai kelompok Kaus Merah pendukung Thaksin—melakukan tindak kekerasan anarki dalam aksi demo mereka akhir pekan ini.
Demonstrasi antipemerintah oleh demonstran Kaus Merah hari Sabtu ini di Bangkok diperkirakan bakal menjadi aksi demo terbesar, sejak aksi unjuk rasa yang membuat 120 orang cedera di luar Kantor PM Abhisit April lalu.
Kita melihat ini dari jauh, dari Indonesia yang kebetulan belum mengalami gejolak yang mengganggu keamanan dan pertahanan seperti di negeri gajah putih itu. Pada dasarnya adalah pada elite politik yang terkooptasi dengan kepentingannya masing-masing. Saya lalu ingat ketika, Negara kita melaksanakan pemilu 2009. Di satu sisi sangat disayangkan tidak profesionalnya KPU, tetapi untunglah para calon presiden kita itu mau memakai cara-cara demokrasi dan cara damai. Kalau saja mereka sakit hati, dan menggalang anak buahnya untuk melakukan protes? Alangkah kisruhnya Negara kita. Sekali lagi, para elite politiknya. Kalau suatu bangsa tidak mendasari niatnya dengan pertimbangan yang baik, maka suatu bangsa akan mudah carut marut.
Negara kita sebenarnya, punya banyak masalah, mulai dari persoalan saparatisme, sentiment agama, masalah HAM yang belum terselesaikan, suku isme, dan pembangunan yang jawa sentries dll. Semua ini memerlukan aturan main, peraturan dan UU yang harus di tegakkan. Tetapi satu hal yang agaknya belum kita miliki adalah penetrapan rambu-rambu aturan yang kuat. Terus terang aparat penegak hukum itu, masih sangat diwarnai oleh arahan pimpinan. Artinya masih sangat tergantung situasional. Meski baru embriyo tetapi kita sudah melihat kian kuatnya “dorongan” kepentingan sektoral, atau atas nama kepentingan sektornya masing-masing. Misalnya kita angkat saja “perseteruan” antara Polisi dan KPK. Di satu sisi hal ini sangat baik, artinya semua sama di mata hukum. Kalau dia salah dan kita bisa menindak ya tindak. Begitu juga sebaliknya. Kalau kita salah, kita juga bisa ditindak. Tetapi kalau gejala ini tidak bisa dikelola dengan benar, maka ia akan bisa menjadi seperti antara TNI dan Polri. Benih-benih ketidak senangan antara satu sama lain itu terus menumpuk dan kian menumpuk. Kalau gejala seperti ini terus berlanjut, maka suatu saat simpul-simpul ketidak saling senangan itu akan bermuara pada “munculnya” tokoh-tokoh yang di dukung oleh kepentingan yang berbeda, oleh “dendam” yang berbeda. Sehingga akan jadilah seperti apa yang kita lihat di Thailand saat ini.

Kamis, 10 September 2009

RUU Rahasia Negara dan Keamanan Nasional

Oleh Jaleswari Pramodhawardani

Pada usia 64 tahun Indonesia, kita kian menyadari, betapa mahal harga sebuah ”keamanan nasional”.

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan pentingnya keamanan nasional. Intinya, negara diberi wewenang luas mempertahankan keamanan nasional.

Namun, menyoroti 64 butir penggolongan ”rahasia negara” dalam draf RUU Rahasia Negara versi Agustus 2009, anggaran kita akan tersedot untuk perlindungan bila diberlakukan. Kerahasiaan berlebihan berdampak pada biaya amat besar dan akan memengaruhi anggaran.

Apalagi perlindungan terhadap kerahasiaan informasi digolongkan beban signifikan terhadap pemerintah. Ini meliputi keamanan personel, keamanan fisik, keamanan informasi, pelatihan, manajemen, dan perencanaan. Di AS, menurut penelitian Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) tahun 2007,

untuk membuat dan melindungi kerahasiaan informasi negara menyedot anggaran di atas 9,9 miliar dollar AS.

Harga sosial-politik

Namun, yang lebih penting adalah harga sosial politik. Banyak kalangan mengkhawatirkan kehadiran RUU Rahasia Negara. Pertanyaan yang muncul, bagaimana rahasia negara didefinisikan? Apa saja yang masuk klasifikasi ”rahasia negara”? Siapa yang memiliki otoritas untuk menggolongkan informasi ke dalam rahasia negara? Bagaimana membedakan kepentingan negara dengan kepentingan pemerintah yang berkuasa? Siapa pengontrolnya? Pers? Pers dapat dijerat pasal membocorkan rahasia negara.

Kecemasan publik bisa dipahami karena suatu informasi— dalam hal apa pun—yang telah ditetapkan sebagai rahasia negara akan terlindung dari jangkauan publik. Bagaimana bila informasi yang ditetapkan itu dibutuhkan penegak hukum atau masyarakat guna mengungkap pelanggaran hukum berat atau penyalahgunaan kekuasaan?

Berbagai pertanyaan itu harus dijawab. Bila tidak, UU Rahasia Negara akan membelenggu, bahkan mematikan hak publik untuk mendapat informasi dan dapat disalahgunakan oleh penguasa guna meredam sikap kritis seperti terjadi pada zaman Orde Baru. Pemerintah perlu menanggapi kecemasan ini secara arif.

Sebuah keharusan

Dalam situasi seperti itu, UU Rahasia Negara juga menjadi sebuah keharusan. Mengapa?

Yang utama, kita telah memiliki UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Pasal 17 UU itu mencantumkan tentang informasi publik yang dikecualikan. Secara eksplisit, pasal ini mengatur hal-hal yang menjadi ”rahasia negara” dengan 10 kategori kerahasiaan. Ke-10 kategori kerahasiaan itu masih amat umum dan mengundang multitafsir. Maka, beberapa analis militer mengusulkan agar menjadi UU Perlindungan Informasi Strategis. Jadi, RUU Perlindungan Informasi Strategis/RUU Rahasia Negara akan mengatur, mengawasi, dan ketat membatasi hal- hal yang dikecualikan dalam UU KIP. Ketiadaan RUU ini akan kontraproduktif dengan semangat keterbukaan dan kebebasan mengakses informasi....

Dilanjutkan atau ditunda?

Ada hal-hal penting yang perlu dicermati dalam pembahasan RUU Rahasia Negara.

Pertama, RUU ini harus memuat semangat The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information. Prinsip-prinsip Johannesburg yang telah diakui dunia internasional dan diterima banyak negara ini menghendaki adanya prinsip maximum access and limited exemption, di mana semua informasi yang dipegang pejabat publik pada dasarnya terbuka. Pengecualian bersifat ketat dan amat terbatas hanya untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah, memperkuat kapasitas negara dalam menanggapi ancaman bersenjata, dan terjaminnya kepentingan publik.

Faktanya, perluasan kerahasiaan negara terjadi dalam beberapa area. Misalnya, definisi rahasia negara sendiri; klasifikasi jenis informasi ”rahasia”, termasuk kategori baru yang ”tidak termasuk rahasia” yang akan membahayakan kebebasan mengakses informasi penting bagi publik, perluasan klasifikasi, dan mereduksi fungsi pengawasan parlementer/DPR maupun badan pengawas independen.

Kedua, jika UU Rahasia Negara menjadi sebuah keharusan, pertanyaannya adalah, apakah pembahasannya perlu dilanjutkan atau ditunda? Jika dilanjutkan, apakah waktu yang terbatas memungkinkan anggota dewan menyelesaikan tugas penting dan rumit ini dengan perbaikan mendasar atas beberapa pasal krusial dalam draf itu? Apabila ditunda, apakah kita siap memberi kebebasan seluas-luasnya kepada presiden dan lembaga negara untuk menafsirkan sendiri ”rahasia negara” hanya berdasar pasal pengecualian UU KIP dalam lima tahun ke depan? Sebuah pilihan sulit, tetapi harus diputuskan.

Akhirnya, kebebasan dan keamanan merupakan elemen yang saling menguatkan. Nilai-nilai inilah yang harus tetap tinggal di Indonesia. Keduanya perlu kita desakkan melalui RUU ini.(Kompas, Senin, 24 Agustus 2009) Jaleswari Pramodhawardani Peneliti LIPI

Senin, 07 September 2009

Utang Rp 1 Triliun untuk Alutsista Pertahanan

Jakarta, Kompas - Pemerintah memastikan pagu anggaran untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan atau alutsista TNI senilai Rp 1 triliun pada tahun 2010 akan diperoleh dari utang dalam negeri. Departemen Keuangan mengupayakan agar sumber utang tersebut berasal dari bank-bank Badan Usaha Milik Negara atau BUMN.

”Pembiayaan melalui utang dari dalam negeri tersebut sudah memiliki dasar hukum, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2008 tentang pinjaman dalam negeri. Tahun 2010 akan kami gunakan untuk pengadaan alutsista yang dibuat di dalam negeri,” ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto di Jakarta, Jumat (4/9).

Menurut dia, selain dari bank BUMN, pihaknya juga tetap membuka kemungkinan memperoleh pinjaman dari pemerintah daerah yang mengalami surplus keuangan melalui penerbitan obligasi khusus. Namun, pinjaman dari pemerintah daerah tidak menjadi prioritas untuk sementara waktu. ”Pembiayaan di dalam negeri ini tergolong model baru yang kami kembangkan untuk meningkatkan pemanfaatan sumber dana yang ada di dalam negeri,” ujar Rahmat.

Rusia

Direktur Utang dan Hibah Ditjen Pengelolaan Utang Depkeu Maurin Sitorus mengatakan, pemerintah juga masih memiliki pagu pinjaman dari Rusia yang khusus diberikan untuk pengadaan alutsista. Perjanjian pembiayaan alutsista dengan Rusia dilakukan tahun 2007 dengan nilai pagu sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 10 triliun.

”Hingga saat ini baru terpakai 100 juta dollar AS sehingga masih ada sisa pagu sebesar 900 juta dollar AS yang bisa dimanfaatkan. Pembicaraan akan terus dilakukan dengan pendekatan khusus karena Rusia merupakan negara kerap memberikan persyaratan unik,” ujarnya.

Rusia memberikan pinjaman 1 miliar dollar AS untuk pengadaan alutsista bagi Indonesia periode 2007-2010. Pinjaman ini merupakan bagian dari komitmen perjanjian kerja sama yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Vladimir Putin pada 1 Desember 2006 (Kompas, 7/9/2007).

Saat itu Dephan berencana menggunakannya untuk membeli 10 helikopter MI-17-V5 dan 5 helikopter MI-35P beserta persenjataannya untuk TNI AD, 2 kapal selam kelas Kilo dan 20 kendaraan infanteri tempur BMP-3F untuk TNI AL, serta 6 paket peralatan terbang dan persenjataan Sukhoi untuk TNI AU.

Di balik jual beli itu, Jasa Federal untuk Kerja Sama Teknis Militer (Federal Service for Military Technical Cooperation) Rusia diharapkan menjadi pintu masuk satu-satunya dalam merumuskan dan menyelenggarakan pengadaan peralatan militer bagi Indonesia. (OIN, Senin, 7 September 2009)

Selasa, 01 September 2009

Terorisme, Pelibatan TNI Dipertanyakan

Oleh : Harmen Batubara
Budaya atau katakanlah karakter militer berbeda di setiap negara, hal itu sangat diwarnai oleh kematangan bangsa itu dalam berdemokrasi. Di Amerika, dia tidak ada bedanya dengan mesin perang. Apa kata undang-undang, itulah yang mereka lakukan. Di Thailand beda, militer merupakan arus utama poros kekuatan politik, mereka terlibat politik praktis secara langsung meski dalam prakteknya mereka mempergunakan “tameng”. Di Filipina berbeda lagi, militer mereka campuran, ada saatnya berada pada poros utama, tetapi kemudian mereka mengambil tempat secara tepat, sesuai amanat konstitusi.
Indonesia juga berbeda, dahulu dia berada pada poros utama, tetapi murni memaainkan politik Negara. Tetapi pada orde baru, militer sepenuhnya jadi alat penguasa. Para petingginya, haruslah dapat restu dari pemegang kekuasaan. Era itu kemudian berahir, saat orde baru terkena arus reformasi. Sesuai pengamatan saya, maka Pangdam pertama produk reformasi, yang tidak memerlukan izin dari cendana adalah Pangdam IV/Diponegoro, kala itu Bibit Waluyo. Nah pada era reformasi, militer di Indonesia belum menemukan jati dirinya.
Di satu sisi para pimpinannya sangat konsern dengan UU, tetapi di lapangan, persoalan yang muncul begitu banyak dimensinya. Secara sederhana dapat dikatakan, UU belum bisa mengakomodasi dinamika yang ada. Maka jadilah militer Indonesia, serba canggung. Dalam hal tupoksinya atau dalam Operasi Militer Perang, jelas dan rentang komandonya ada di sana. Mereka menguasai bidangnya. Kalau kita boleh menilai, kekuarangannya adalah pada kemampuan teknologi dan ketrampilan perang sekala besar. Mereka terbatas pada alut sista dan kesempatan berlatih yang semestinya.
Nah untuk Operasi Militer Selain Perang (OMSP), maka banyak hal yang belum terdefenisikan. Sesuai UU TNI, ada tugas-tugas OMSP tetapi sangat banyak yang melakukan kritisi. Salah satunya media massa, dan LSM. Di satu segi hal seperti itu sebagai pertanda demokrasi, tetapi di segi lain banyak hal yang jadi sebatas wacana, maju gak bisa mundur juga kena. Salah satunya adalah pelibatan TNI dalam melawan Terorisme.
Penilaian itu dilontarkan dalam jumpa pers yang digelar di Kantor Kontras, Jakarta, Kamis (27/8), yang diikuti perwakilan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Mufty Maakarim (IDSPS), Edwin Partogi dan Oslan Purba (Kontras), dan dosen pascasarjana UI Bidang Kajian Ilmu Kepolisian, Bambang Widodo Umar.

Kekhawatiran itu terutama terkait kemungkinan terjadinya intimidasi, salah tangkap, penculikan, dan penyiksaan yang bisa saja dilakukan militer saat mereka diterjunkan mengejar anggota masyarakat yang masih diduga pelaku teroris. Menurut Oslan, militer masih sangat tertutup, terutama terkait pertanggungjawaban berbagai pelanggaran HAM masa lalu yang mereka lakukan.
Malah Bambang Widodo Umar mempertanyakan adanya anggapan militer lebih punya kemampuan dalam menangani aksi teror daripada polisi. Anggapan itu muncul bahkan dengan mengilustrasikan ”kesuksesan” ABRI pada masa lalu dalam Operasi Woyla. Lebih ruwet lagi ketika media mengutif ucapan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen “Selama ini TNI, menurut Sagom, tidak pernah mengatakan akan bergerak sendiri menangkap pelaku aksi terorisme, apalagi ”mengemis” untuk minta dilibatkan. Tidak hanya itu, TNI selama ini juga tidak pernah mendeklarasikan lebih jago menghadapi terorisme.(Kompas, Jumat, 28 Agustus 2009).
Sekali lagi itulah demokrasi, semua boleh ngomong, entah itu dengan nada melecehkan, atau memang muncul dari kehawatiran yang tulus. Militer itu memang bagian dari mesin perang. Sekali ia bertindak, tidak ada yang namanya masalah abu-abu, hitam atau putih. Dia atau saya yang mati duluan. Apa yang telah militer lakukan, tidak bisa di ukur. Sama ketika polisi menghabisi Ibrohim, gaya militernya sangat kental. Hancurkan, habis perkara. Kalau anda berara pada pihak yang berseberangan dengan polisi. Ya sabar sajalah. Semoga Tuhan berkenan memberikan bangsa kita lingkungan yang lebih baik. Nah itu baru polisi. Bagaimana kalau militer? Ya terserah anda yang menilai.
Kuncinya adalah pelatihan, dan profesionalisme serta tataran hukum yang jelas. Sekrang kita belum punya UU kamnas, belum punya UU Komponen Cadangan, belum punya UU Komponen Pendukung. Sementara Negara tetangga telah menatanya dengan rapi, mereka sebut tentara ibu pertiwi, terstruktur dengan baik hingga ke wilayah perbatasannya.
Meski agak ngelantur, masih ingat gak lepasnya pulau sipadan dan ligitan? Salah satu yang jadi bahan pertimbangan mahkamah internasional itu, adalah “jangan berikan pada Indonesia, nanti nasib kedua pulau itu akan terlantar”. Intinya postingan itu ada di sana. Sebagai bangsa, manajemen Negara kita payah. Hal-hal yang mendasar tidak terurus, sementara persoalan-persoalan pernak-pernik malah di besar-besarkan. Dan semangat KKN, koncoisme, meraja lela.Ya separatism memang dapat angin.