Selasa, 01 September 2009

Terorisme, Pelibatan TNI Dipertanyakan

Oleh : Harmen Batubara
Budaya atau katakanlah karakter militer berbeda di setiap negara, hal itu sangat diwarnai oleh kematangan bangsa itu dalam berdemokrasi. Di Amerika, dia tidak ada bedanya dengan mesin perang. Apa kata undang-undang, itulah yang mereka lakukan. Di Thailand beda, militer merupakan arus utama poros kekuatan politik, mereka terlibat politik praktis secara langsung meski dalam prakteknya mereka mempergunakan “tameng”. Di Filipina berbeda lagi, militer mereka campuran, ada saatnya berada pada poros utama, tetapi kemudian mereka mengambil tempat secara tepat, sesuai amanat konstitusi.
Indonesia juga berbeda, dahulu dia berada pada poros utama, tetapi murni memaainkan politik Negara. Tetapi pada orde baru, militer sepenuhnya jadi alat penguasa. Para petingginya, haruslah dapat restu dari pemegang kekuasaan. Era itu kemudian berahir, saat orde baru terkena arus reformasi. Sesuai pengamatan saya, maka Pangdam pertama produk reformasi, yang tidak memerlukan izin dari cendana adalah Pangdam IV/Diponegoro, kala itu Bibit Waluyo. Nah pada era reformasi, militer di Indonesia belum menemukan jati dirinya.
Di satu sisi para pimpinannya sangat konsern dengan UU, tetapi di lapangan, persoalan yang muncul begitu banyak dimensinya. Secara sederhana dapat dikatakan, UU belum bisa mengakomodasi dinamika yang ada. Maka jadilah militer Indonesia, serba canggung. Dalam hal tupoksinya atau dalam Operasi Militer Perang, jelas dan rentang komandonya ada di sana. Mereka menguasai bidangnya. Kalau kita boleh menilai, kekuarangannya adalah pada kemampuan teknologi dan ketrampilan perang sekala besar. Mereka terbatas pada alut sista dan kesempatan berlatih yang semestinya.
Nah untuk Operasi Militer Selain Perang (OMSP), maka banyak hal yang belum terdefenisikan. Sesuai UU TNI, ada tugas-tugas OMSP tetapi sangat banyak yang melakukan kritisi. Salah satunya media massa, dan LSM. Di satu segi hal seperti itu sebagai pertanda demokrasi, tetapi di segi lain banyak hal yang jadi sebatas wacana, maju gak bisa mundur juga kena. Salah satunya adalah pelibatan TNI dalam melawan Terorisme.
Penilaian itu dilontarkan dalam jumpa pers yang digelar di Kantor Kontras, Jakarta, Kamis (27/8), yang diikuti perwakilan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Mufty Maakarim (IDSPS), Edwin Partogi dan Oslan Purba (Kontras), dan dosen pascasarjana UI Bidang Kajian Ilmu Kepolisian, Bambang Widodo Umar.

Kekhawatiran itu terutama terkait kemungkinan terjadinya intimidasi, salah tangkap, penculikan, dan penyiksaan yang bisa saja dilakukan militer saat mereka diterjunkan mengejar anggota masyarakat yang masih diduga pelaku teroris. Menurut Oslan, militer masih sangat tertutup, terutama terkait pertanggungjawaban berbagai pelanggaran HAM masa lalu yang mereka lakukan.
Malah Bambang Widodo Umar mempertanyakan adanya anggapan militer lebih punya kemampuan dalam menangani aksi teror daripada polisi. Anggapan itu muncul bahkan dengan mengilustrasikan ”kesuksesan” ABRI pada masa lalu dalam Operasi Woyla. Lebih ruwet lagi ketika media mengutif ucapan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen “Selama ini TNI, menurut Sagom, tidak pernah mengatakan akan bergerak sendiri menangkap pelaku aksi terorisme, apalagi ”mengemis” untuk minta dilibatkan. Tidak hanya itu, TNI selama ini juga tidak pernah mendeklarasikan lebih jago menghadapi terorisme.(Kompas, Jumat, 28 Agustus 2009).
Sekali lagi itulah demokrasi, semua boleh ngomong, entah itu dengan nada melecehkan, atau memang muncul dari kehawatiran yang tulus. Militer itu memang bagian dari mesin perang. Sekali ia bertindak, tidak ada yang namanya masalah abu-abu, hitam atau putih. Dia atau saya yang mati duluan. Apa yang telah militer lakukan, tidak bisa di ukur. Sama ketika polisi menghabisi Ibrohim, gaya militernya sangat kental. Hancurkan, habis perkara. Kalau anda berara pada pihak yang berseberangan dengan polisi. Ya sabar sajalah. Semoga Tuhan berkenan memberikan bangsa kita lingkungan yang lebih baik. Nah itu baru polisi. Bagaimana kalau militer? Ya terserah anda yang menilai.
Kuncinya adalah pelatihan, dan profesionalisme serta tataran hukum yang jelas. Sekrang kita belum punya UU kamnas, belum punya UU Komponen Cadangan, belum punya UU Komponen Pendukung. Sementara Negara tetangga telah menatanya dengan rapi, mereka sebut tentara ibu pertiwi, terstruktur dengan baik hingga ke wilayah perbatasannya.
Meski agak ngelantur, masih ingat gak lepasnya pulau sipadan dan ligitan? Salah satu yang jadi bahan pertimbangan mahkamah internasional itu, adalah “jangan berikan pada Indonesia, nanti nasib kedua pulau itu akan terlantar”. Intinya postingan itu ada di sana. Sebagai bangsa, manajemen Negara kita payah. Hal-hal yang mendasar tidak terurus, sementara persoalan-persoalan pernak-pernik malah di besar-besarkan. Dan semangat KKN, koncoisme, meraja lela.Ya separatism memang dapat angin.

Tidak ada komentar: