Dalam hal perbatasan, Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh)
negara sahabat yaitu India, Thailand, Vietnam, Malaysia,
Singapura, Filipina, Kepu lauan Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste
dan di Darat berbatasan dengan 3 (tiga) Negara yaitu ; Malaysia, Papua Nugini
dan RDTL. Selain itu terdapat 92 (sembilan puluh dua) buah pulau kecil terluar
yang merupakan halaman Negara dan tiga belas diantaranya membutuhkan perhatian
khusus.
Sulit
untuk menghargai kedaulatan sebuah bangsa, kalau ternyata Negara itu tidak
mampu melakukan penegasan perbatasan negaranya dengan Negara-negara
tetangganya. Dalam hal hubungan Internasional, masalah teritorial merupakan
salah satu penyebab klasik munculnya konflik antar negara dan menjadi ancaman
abadi bagi perdamaian serta keamanan internasional. Ketidakjelasan batas
teritorial, salah satunya, menjadi faktor laten penyebab munculnya sengketa perbatasan
yang akan mengganggu stabilitas hubungan antar negara. Hal seperti itu sudah
bukan lagi rahasia umum, boleh dikatakan 85% Negara di Dunia ini mempunyai
permasalahan perbatasan dengan Negara tetangganya. Apalagi kalau hal itu kita
lihat di belahan Asia, hampir semua Negara punya masalah perbatasan dengan
Negara tetangganya. Sebut saja nama negaranya, misalnya China atu Tiongkok,
Negara ini punya permasalahan batas dengan India, dengan Jepang, dengan Korea
Selatan, dengan Malaysia, dengan Brunai, dengan Vietnam, dengan Filipina.
Indonesia sendiri mempunyai masalah perbatasan dengan sepuluh (10) Negara
tetangganya.
Secara administratip garis perbatasan darat
mempunyai 3200 km, melewati 5 Kabupaten[1] di
Kalimantan Barat ( Sanggau, Kapuas Hulu, Sambas, Sintang dan Bengkayang)
berbatasan dengan Sarawak Malaysia sepanjang 966 km; tiga (3) kabupaten di Kalimantan Utara ( Nunukan, Malinau) dan satu di Kalimantan Timur yakni Kutai Barat
yang berbatasan dengan Sabah, Malaysia sepanjang 1038 km. Terhitung ada Lima
(5) Kabupaten/Kota di Papua (Jayapura, Keerom, Pegunungan Bintang, Boven Digul
dan Merauke) berbatasan dengan Papua Nugini sepanjang 820 km ; dan Tiga(3) kabupaten di Nusatenggara Timur (Belu, Kupang
dan Timor Tengah Utara) berbatasan dengan Timor Leste sepanjang 300km.
Garis perbatasan laut meliputi 10 provinsi
yang bagian wilayah lautnya berhadapan langsung dengan negara lain, termasuk
pulau-pulau kecil terluar dan laut disekitarnya. Wilayah Provinsi berbatasan
dengan India yaitu Nangru Aceh Darussalam,
berbatasan dengan Thailand juga termasuk provinsi NAD, dan Sumut; berbatasan
dengan Malaysia yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, Kepulauan Riau,
Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur;
berbatasan dengan Singapura yaitu provinsi Kepulauan Riau; berbatasan
dengan Filipina dengan provinsi Sulawesi Utara, Maluku Utara; berbatasan dengan
Australia yaitu provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Maluku; serta berbatasan
dengan Papua Nugini yakni dengan provinsi Papua; berbatasan dengan Timor Leste
yaitu dengan Provinsi NTT, termasuk juga 67 pualau-pulau kecil terluar dan 13
diantaranya memerlukan perhatian khusus.
Penegasan batas darat RI selama ini ditangani oleh beberapa
Kementerian dan Lembaga (K/L) serta departemen dan instansi teknis terkait baik dari jajaran
Kementerian Pertahanan (Kemhan), TNI, Topografi AD, Dishidroa-AL dan Kodam
Wilayah Perbatasan maupun Kementerian/Lembaga sipil khususnya Kemdagri dan
Kemlu, dan Badan Informasi Geospasial Indonesia (Badan Koordinasi Survei dan
pemetaan Nasional). Batas negara
terdiri dari batas darat, batas laut dan batas udara. Batas darat dan batas
udara merupakan batas teritorial yang memiliki kedaulatan penuh (full
sovereignty), sementara batas laut tidak hanya teritorial, akan tetapi juga
mencakup batas zona tambahan (contiguous zone), batas zona ekonomi
eksklusif (economic exclusive zone), dan batas landas kontinen (continental
shelf)[2]. Oleh karena batas laut tidak hanya batas teritorial,
maka terminologi yang digunakan untuk laut adalah batas maritim yang memuat
batas kedaulatan penuh dan batas hak berdaulat (sovereign right).
Wilayah perairan Indonesia memiliki potensi
sengketa/konflik batas maritim dengan 10 negara tetangga. Batas maritim yang
menjadi pembahasan antara Indonesia dengan negara tetangga adalah batas Laut
Teritorial, ZEE, dan Landas Kontinen. Sementara batas Zona Tambahan tidak
pernah dijadikan bahan permasalahan dalam perundingan batas maritim Indonesia
dengan negara tetangga. Permasalahan-permasalahan
yang kerap terjadi di perbatasan dan kawasan dapat disebabkan oleh beberapa
kondisi, antara lain : belum adanya batas yang disepakati, belum tuntasnya
proses perundingan batasnya, dan adanya kesalahan penafsiran terhadap batas
yang sudah disepakati[3]. Dari
seluruh batas wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, batas
terpanjang memang dengan Malaysia. Baik perbatasan darat, begitu juga dengan
batas lautnya. Perundingan batas wilayah
maritim Indonesia-Malaysia mencakup
semua batas wilayah laut yang belum disepakati yang terdiri atas Zona
Ekonomi Eksklusif, Batas Laut Teritorial, dan Landas Kontinen. Saat ini
sebagian besar Batas Laut Teritorial dan Landas Kontinen telah disepakati, baik
oleh Indonesia maupun Malaysia. Persetujuan Batas Laut Teritorial telah
mencapai lebih dari 80 persen, yang belum disepakati masih tersisa 20 persen,
yaitu sepanjang hampir 50 mil laut atau 92,6 kilometer.
Di bagian barat, daerah ”yang belum jelas ”
itu berada di selatan Selat Malaka, daerah antara Johor dan Pulau Bintan, serta
perairan dekat Batu Puteh[4] di timur Singapura. Di perairan Kalimantan
batas yang belum disepakati ada di Tanjung Datuk yang berhadapan dengan Laut
China Selatan dan di Pulau Sebatik di Laut Sulawesi. Landas Kontinen yang sudah
disepakati mencapai lebih dari 95 persen, atau masih menyisakan batas 5 % atau
berjarak kurang dari 100 mil atau 185,2 kilometer, yaitu di Ambalat Laut
Sulawesi. Namun, hingga kini Zona Ekonomi Eksklusif di perbatasan kedua negara
belum ada satu pun yang disepakati. Padahal, kawasan ini memiliki arti penting
bagi aspek ekonomi karena Zona Ekonomi Eksklusif mengandung potensi perikanan
dan nilai strategis dari aspek transportasi laut.
Perundingan Batas Laut Teritorial dan Landas
Kontinen dilaksanakan setelah keluarnya UNCLOS I tahun 1958. Perundingan
Indonesia-Malaysia untuk dua batas itu dilaksanakan sejak tahun 1969 hingga
1972. Adapun ketetapan tentang Zona Ekonomi Eksklusif, baru dikeluarkan pada
UNCLOS III tahun 1982. Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang berbatasan
dengan Malaysia mencapai total 1.200 mil atau 2.222 kilometer. ”Zona sepanjang
ini belum ada yang disepakati. Zona itu
meliputi garis sepanjang 300 mil laut di Selat Malaka, 800 mil laut di Laut
China Selatan, dan sekitar 100 mil laut di Laut Sulawesi.
”Di antara perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif
tersebut yang sering menimbulkan konflik ada di Selat Malaka. Karena Malaysia
menarik garis masuk ke dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yang ditetapkan
Indonesia hingga sejauh 9 mil”
Garis batas laut wilayah antara Indonesia
dengan Malaysia adalah garis yang menghubungkan titik-titik koordinat yang
ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama di Kuala Lumpur, pada 17 Maret 1977.
Berdasarkan UU No 4 Prp tentang Parairan tahun 1960, Indonesia telah menentukan
titik dasar batas wilayah lautnya sejauh 12 mil. Sebagai implementasi dari UU
tersebut, beberapa bagian perairan Indonesia yang jaraknya kurang dari 12 mil
laut, menjadi laut wilayah Indonesia. Termasuk wilayah perairan yang ada di
Selat Malaka.
Pada Agustus 1969, Malaysia juga mengumumkan
bahwa lebar laut wilayahnya menjadi 12 mil laut, diukur dari garis dasar yang
ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan konvensi Jenewa 1958 (mengenai Laut
Wilayah dan Contigous Zone). Sehingga timbul persoalan, yaitu letak garis batas
laut wilayah masing-masing negara di Selat Malaka (di bagian yang sempit) atau
kurang dari 24 mil laut.
Adapun batas Landas Kontinen antara Indonesia
dan Malaysia ditentukan berdasarkan garis lurus yang ditarik dari titik bersama
ke titik koordinat yang disepakati bersama pada 27 Oktober 1969. Atas
pertimbangan tersebut, dilaksanakan perundingan (Februari-Maret 1970) yang
menghasilkan perjanjian tentang penetapan garis Batas Laut Wilayah kedua negara
di Selat Malaka. Penentuan titik koordinat tersebut ditetapkan berdasarkan
Garis Pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut
Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap
negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru.
Selama ini penarikan batas Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia di
Perairan Selat Malaka berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1958.
MOU RI dengan Malaysia yang ditandatangani
pada 27 Oktober 1969 yang menetapkan Pulau Jarak dan Pulau Perak sebagai acuan
titik dasar dalam penarikan Garis Pangkal jelas jelas merugikan pihak
Indonesia, karena median line yang diambil dalam menentukan batas landas
kontinen kedua negara tersebut cenderung mengarah ke perairan Indonesia.
Indonesia juga belum ada kesepakatan dengan
pihak Malaysia tentang ZEE-nya. Penentuan ZEE ini sangat penting dalam upaya
pengelolaan sumberdaya perikanan masing-masing negara. Akibat belum adanya
kesepakatan ZEE antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka, sering
terjadi penangkapan nelayan oleh kedua belah pihak. Hal ini disebabkan karena
Malaysia menganggap batas Landas Kontinennya di Selat Malaka, sekaligus
merupakan batas laut dengan Indonesia. Hal ini tidak benar, karena batas laut
kedua negara harus ditentukan berdasarkan perjanjian bilateral.
Berdasarkan kajian Dinas Hidro-Oseanografi TNI
AL, batas laut Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka seharusnya berada di
median line antara garis pangkal kedua negara yang letaknya jauh di sebelah
utara atau timur laut batas Landas Kontinen. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82,
sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jarak dan
Pulau Perak sebagai base line yang jarak antara kedua pulau tersebut lebih dari
100 mil laut. Jika ditinjau dari segi geografis, daerah yang memungkinkan rawan
sengketa perbatasan dalam pengelolaan sumber-sumber perikanan adalah di bagian
selatan Laut Andaman atau di bagian utara Selat Malaka.
[1]
Jumlah kabupaten ini tentu akan selalu berubah tergantung dengan pemekaran
Provinsi, Kabupaten atau Kota yang terjadi
[3]
Problematika Batas Maritim Indonesia
ditinjau dari Aspek Teknis dan Hukum, Makalah utama pada Simposium Nasional
Geomatika di ITS 2010, 18 Maret 2010.
[4]
Pada tanggal 23 Mei 2008 International Court of Justice ( ICJ) telah memutuskan
kasus sengketa kedaulatan atas Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh, Middle Rocks
dan South Ledge antara Malaysia dan Singapura, dengan rincian sebagai berikut :
Bahwa kedaulatan atas Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh adalah milik Republik
Singapura. Bahwa kedaulatan atas Middle Rocks adalah milik Malaysia.
Bahwa kedaulatan atas South
Ledge “belongs to the State in the territorial waters of which it is located”
Komplikasi garis batas menjadi semakin bertambah karena terdapat LTE South
Ledge. “Pemilik” laut territorial di kawasan South Ledge berarti memiliki
kedaulatan atas LTE tersebut. Dalam hal ini, meskipun Mahkamah “hanya”
menyebutkan overlapping territorial waters Malaysia dan Singapura, namun
perairan tersebut juga terletak dalam jarak 12 mil laut dari baselines Indonesia.
Secara yuridis ketiga negara memiliki peluang
yang sama untuk “memiliki” South Ledge, dan keputusannya akan tergantung
konfigurasi garis batas berdasarkan perundingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar