Oleh harmen batubara
Kekuatan asing selalu akan menguji kesiapan negara dalam menjaga
kedaultan bangsa. Kita masih ingat insiden masuknya lima pesawat F-18 dalam
formasi tempur milik Angkatan Laut Amerika Serikat di Pulau Bawean. Peristiwa
tanggal 3 Juli 2003 bisa disebut sebagai titik nadir bagi TNI dalam menjaga
kedaulatan Tanah Air dari infiltrasi asing. Bukti bahwa pertahanan Indonesia
pada saat itu sangat mudah ditembus oleh militer asing. Insiden Bawean terjadi karena
Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarno Putri terlalu sibuk
untuk mereformasi Fungsi TNI secara kelembagaan. Ada anggapan pembangunan
kekuatan militer akan memperlambat proses reformasi TNI menjadi tentara
profesional. Ada kesan pembiaran, meski untuk alasan yang juga sangat penting.
Kebijakan Pemerintah di bidang pertahanan periode 1999-2004 pada
saat negara-negara seperti Singapura, Malaysia, China, Australia, Korea
Selatan, Jepang, Amerika Serikat dan India tengah membangun kapabilitas militer
melalui peningkatan anggaran pertahanan dan modernisasi alutsista khususnya
matra laut dan udara. Indonesia malah tidak mempertimbangkan perkembangan
geopolitik di kawasan Asia Pasifik dan malah menurunkan kemampuan postur, anggaran, dan
strategi pertahanan sehingga melemahkan kapabilitas TNI mengamankan dan menjaga
wilayah kedaulatan Tanah Air dari ancaman eksternal.
Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupaya
untuk meningkatkan kapasitas pertahanan dalam bentuk peningkatan anggaran
pertahanan, modernisasi alutsista, pengembangan postur pertahanan, serta
rencana pembentukan komponen cadangan. Kebijakan ini fokus untuk membangun
kekuatan militer untuk mengimbangi kekuatan militer negara-negara di kawasan
Asia Pasifik mengingat Indonesia telah tertinggal jauh. Pemerintah Indonesia
mengeluarkan kebijakan Minimum Essential Force (MEF) pada tahun 2010. Kebijakan
MEF tertuang dalam dokumen Postur Pertahanan Indonesia Periode 2009-2029 yang
disesuaikan dengan rencana strategis Buku Putih Pertahanan Indonesia Tahun
2008.
MEF terbagi menjadi empat tahap yaitu tahap pertama (2010-2014),
tahap kedua (2015-2019), tahap ketiga (2020-2024), dan tahap keempat
(2025-2029). MEF tahap pertama diberikan alokasi anggaran berkisar 1,8% hingga
2,1% dari PDB dengan fokus pembangunan matra darat, laut, dan udara
masing-masing sebesar 32%. MEF tahap kedua diberikan alokasi anggaran berkisar
2,2% hingga 2,61% dari PDB dengan fokus pembangunan matra darat, laut, dan
udara masing-masing sebesar 31%. MEF tahap ketiga diberikan alokasi anggaran
berkisar 2,74% hingga 3,14% dari PDB dengan fokus pembangunan matra darat,
laut, dan udara masing-masing sebesar 31%. MEF tahap keempat diberikan alokasi
anggaran berkisar 3,28 hingga 3,9% dari PDB dengan fokus pembangunan matra
darat, laut, dan udara masing-masing sebesar 30%.
Akan tetapi, realisasi anggaran pertahanan dalam empat tahun MEF
tahap pertama hanya mencapai persentase maksimal 0,9% dari PDB. Indonesia
menjadi negara dengan persentase anggaran pertahanan terkecil di kawasan Asia
Pasifik. Kondisi ini membuat pembangunan postur pertahanan tidak mampu
mengimbangi pembangunan postur pertahanan negara-negara di Kawasan Asia Pasifik
yang memiliki persentase anggaran pertahanan yang lebih tinggi.
Perubahan Lingkungan
Strategis
Namun, beberapa tahun terakhir, empat perubahan arus strategis
di kawasan mengharuskan kita mengkaji ulang asumsi yang kita amini selama ini.
Pertama, kembalinya pertarungan politik negara-negara besar di tengah
melemahnya berbagai institusi kawasan. Perang Amerika Serikat di Irak, Libya,
Afganistan, serta keterlibatan Rusia di Suriah, dan kemudian bekerja sama
menghancurkan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), telah menggoyahkan stabilitas
sistem internasional dan mendorong berbagai kekuatan kawasan, seperti Tiongkok
dan Rusia, untuk membentuk aliansi baru baik formal maupun tidak formal sebagai
perimbangan. Menguatnya peran ekonomi dan militer Tiongkok juga mendorong
“normalisasi” Jepang sebagai kekuatan militer dan peningkatan peran keamanan
dan politik India dan Australia di kawasan.
Pada saat yang sama, peran ASEAN sebagai kekuatan penyeimbang
keamanan regional makin menurun dan sebagaian anggotanya seolah terkooptasi di
tengah berbagai persoalan sengketa wilayah dan kegagalan menyelesaikan berbagai
krisis, seperti pengungsi Rohingya, konflik perbatasan dan prompak laut. Belum
lagi tajamnya perbedaan politik dan ekonomi antar negara Asia Tenggara maritim
(Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura) dan daratan (Kamboja, Myanmar, Laos,
Vietnam, Thailand) yang dimanfaatkan Tiongkok untuk memecah-belah ASEAN.
Berbagai ancaman militer itu dapat muncul terutama dari kawasan
sengketa, seperti Laut Tiongkok Timur dan Laut Tiongkok Selatan, yang kian
memanas. Saat ini, rivalitas antara AS dan Tiongkok tengah mencari bentuk
format baru yang akan menentukan arah strategis rivalitas antara Tiongkok dan
Jepang atau India dan Tiongkok dan berikutnya antara Tiongkok dengan anggota
Asean ( Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan dan Brunai Darussalam.
Eskalasi ketegangan di Kawasan Asia Pasifik diisebabkan oleh
munculnya kekuatan baru Tiongkok baik secara ekonomi, politik, dan militer.
Modernisasi militer yang dilakukan Tiongkok dengan visi BLUE WATER NAVY seolah
menganggu eksistensi Amerika Serikat dan sekutunya yaitu Australia, Jepang, dan
Korea Selatan. Kemunculan Tiongkok sebagai kekuatan baru telah direspon oleh
Amerika Serikat. Pada tahun 2011, Amerika dibawah kepemimpinan Obama tidak
punya pilihan dan meningkatkan kekuatannya di kawasan Asia Pasifik. Dalam dua
puluh tahun kedepan, 2/3 kekuatan Amerika Serikat akan dikonsentrasikan di
kawasan Asia Pasifik. Amerika Serikat mulai membangun pangkalan-pangkalan
militer baru di Darwin dan Pulau Cocos, Australia. Artinya, kepentingan dua negara besar di
kawasan ini, sepenuhnya dikendalikan Washington DC dan Beijing yang mempunyai
berbagai kepentingan yang berseberangan. Tetapi masalahnya kian mengkristal dan
dipercaya penyelesaian sengketa wilayah makin menitikberatkan peran kekuatan
militer.
Melihat konstelasi kekuatan militer yang terdapat di Kawasan
Asia Pasifik dan potensi konflik di Laut China Selatan, Indonesia seperti
terjebak di antara kekuatan besar. Jika Indonesia tidak mempersiapkan
pembangunan kekuatan militer dengan baik dan terukur, maka besar kemungkinan
Indonesia akan menjadi arena konflik diantara kekuatan-kekuatan besar. Untuk
menghindari hal tersebut Indonesia wajib meningkatkan kapasitas pertahanan
dengan melakukan modernisasi alutsista dan memaksimalkan strategi pertahanan rakyat
semesta.
Kekuatan TNI di Sekitar Laut China Selatan
Untuk saat ini Indonesia baru mempunyai Lapangan terbang di
Ranai, dan itupun tidak bisa di darati oleh pesawat tempur. Karena Lanudnya
masih tipe C. Sama sekali tidak mampu melayani kepentingan pesawat tempur.
Untungnya sudah ada Lanal Ranai di bawah komando Lantamal IV Belitung dengan
tipe B. Ini berarti di sana ada penempatan kapal TNI AL di Lanal tersebut,
termasuk penempatan kapal kombatan secara reguler dari Mako Armabar di Jakarta.
Lanal Ranai tidak hanya sebagai pusat pengendali lalu lintas laut, tetapi juga
sebagai bunker logistik dan amunisi, sebagai suplai perbekalan bagi kapal-kapal
TNI AL yang berlayar di sekitar perairan tersebut. Tipe kapal yang beroperasi
di sana adalah kapal yang mempunyai kemampuan deteksi dini, cepat,
bersenjatakan rudal anti kapal, dan mampu melakukan peperangan udara.
Kita bersukur, karena kegiatan ILLEGAL FISHING Tiongkok ini
telah memberikan kesadaran baru bagi TNI untuk segera memperkuat system
pertahanannya di wilayah itu. Lanud Ranai akan di tingkatkan tipenya dari C ke
B. “Sekarang kita usulkan, Natuna itu kita bikin seperti KAPAL INDUK kita. Jadi
basis militer yang kuat, AL, dan AU di sana,” ujar Menteri Koordinator bidang
Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan, 23 Maret 2016 yang lalu.
Menjadikan Natuna bagai Kapal Induk, sudah barang tentu, Lanud Ranai harus
diubah jadi tipe B Plus. Artinya Natuna harus bisa berperan jadi hangar puluhan
pesawat tempur, jadi pusat pengendali
lalu lintas udara di wilayah itu, punya superior terhadap serangan udara lawan,
sebagai bunker logistik dan amunisi, untuk mensuplai perbekalan bagi
pesawat-pesawat tempur TNI AU yang berpatroli di sekitar perairan tersebut.
Demikian juga dengan TNI Angkatan Udara yang akan menyiagakan
empat unit pasukan khusus Korps Pasukan Khas (PASKHAS), di Pulau Natuna Besar.
Pasukan ini dilengkapi dengan sistem rudal pertahanan udara Oerlikon Skyshield
buatan Rheinmetall. Sistem rudal Oerlikon Skyshield merupakan sistem pertahanan
udara modular termasuk meriam multirole otomatis 35 mm yang dapat menembak
jatuh pesawat. Saat ini baru pangkalan
TNI AU Supadio, Halim Perdanakusuma, dan pangkalan udara Hasanuddin, yang sudah
menggunakan sistem persenjataan ini. Tapi bagaimana realisasinya? Masih sangat
tergantung kemampuan anggaran pemerintah.
Saat ini rencana pembangunan hanggar tambahan baru akan
disiapkan untuk menampung delapan pesawat tempur. Pesawat-pesawat tempur itu
mencakup pesawat jet tempur Su-27, Su-30, F -16 yang hendak dibeli, dan
fasilitas skuadron kendaraan udara tak berawak (UAV). Rencananya ( sejak tahun
2012) akan ada tambahan 1 batalion Infantri dari Bukit Barisan. Markas batalion
tersebut berada di daerah Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur dengan nama
Batalion Infanteri 135. Saat ini di sana baru ada dua Kompi C dan D dari
Batalyon 134/Raider (Batam). Untuk membangun markas dan sarananya memerlukan
anggaran dan waktu. Begitu juga dengan rencana untuk menyiagakan 4 helikopter
AH-64E Apache di Natuna tentu perlu infrastruktur. Dalam darurat tentu bisa
saja memanfaatkan Bivak dan bersifat mobile. Tetapi untuk mengoperasikan Heli
sekelas Apache memerlukan sarana khusus dan itu perlu dipersiapkan.
Indonesia yang luas, memerlukan system pertahanan yang kuat dan
terintegrasi. Sekarang ini, kemampuan negara baru sebatas bisa membiayai
personilnya saja. Dalam arti yang sebenarnya, gelar kekuatan TNI itu masih
bagian dari masalah. Menjadi masalah karena sarana dan prasarananya tidak bisa
mendukung. Seperti pasukan TNI kita yang digelar di sepanjang perbatasan. Pos
nya sangat sederhana, tidak ada sarana penunjang berteknologi. Posko posko itu
tidak beda jauh dari Pos hansip yang kita kenal. Untuk drop logistik mereka
saja masih persoalan utama. Untuk melahirkan TNI yang professional, membutuhkan
negara yang kuat secara ekonomi dan terbebas dari korupsi.TNI yang kuat adalah
TNI yang tidak terpapar Korupsi. Kalau korupsi sudah ada di institusi ini, maka
sebesar apapun anggarannya tidak akan membuatnya menjadi kekuatan apa apa.
Catatan-tulisan ini pernah dimuat di www.wilayahpertahanan.com yang menjadi affiliasi blog ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar