Oleh Kiki Syahnakri
Saat TNI akan maju ke
Filipina untuk membebaskan Sandra Abu Sayyaf, banyak kalangan yang jadi
hawatir. Hawatir terkait medan operasi yang berbeda, dan kesiapan TNI itu
sendiri. Hal ini tentu bukan berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan
berbagai hal yang tidak meyakinkan terkait keberhasilan Operasi tempur yang
dilakukan oleh TNI. Ungkapan ini sering juga dilontarkan para pihak sebagai
kekecewaan terhadap kualitas prajurit saat operasi Seroja di Timtim. Begitu
juga dengan berbagai operasi lawan saparatis di Papua. Begitu juga dengan Operasi Tinombala, hasilnya juga jauh dari
signifikan. Karena itu ada baiknya kita membaca kembali tulisan Kiki Syahnakri
Terkait Membangun Daya Tempur TNI ini.
RANGKAIAN acara Hari
Ulang Tahun Ke-69 TNI usai dilaksanakan dengan acara parade, defile, serta
demonstrasi yang amat membanggakan dan mengesankan di Pangkalan TNI AL Ujung
Surabaya. Dalam acara ini ditampilkan sejumlah alutsista baru matra darat,
laut, dan udara yang diadakan selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono, termasuk mesin perang dalam kategori tercanggih saat ini, seperti
helikopter serang Apache dan peluncur roket multilaras Astros. Alutsista yang
ditampilkan merupakan bagian dari pengadaan dalam rangka memenuhi kebutuhan
untuk mewujudkan minimum essential force (MEF) TNI. Program ini dilakukan
secara bertahap dan menurut rencana akan terwujud 100 persen pada tahun 2024.
Kemampuan Daya tempur
Program MEF tersebut
tentu bertujuan untuk meningkatkan daya tempur TNI. Dalam terminologi militer
secara universal, daya tempur (combat capability) mempunyai pengertian
”perpaduan antara faktor fisik dan nonfisik dari suatu satuan militer dalam
pertempuran”. Faktor fisik terdiri dari: pertama, kemampuan manuver atau daya
gerak/mobilitas secara terpadu dan sinergi dari unsur-unsur tempur, bantuan
tempur, dan bantuan administrasi/logistik. Kedua, daya tembak, yaitu kapasitas
tembakan untuk mendisorganisasi dan menghancurkan musuh. Adapun faktor nonfisik
merupakan kualitas keprajuritan dari para prajuritnya, terdiri atas aspek
kejiwaan terutama daya juang, disiplin, militansi, loyalitas, jiwa korsa, dan
kerelaan berkorban.
Faktor nonfisik jauh
lebih penting dari faktor fisik, merupakan faktor utama dari daya tempur.
Prajurit Gurkha dikenal sebagai tentara kelas wahid di dunia karena keunggulan
faktor nonfisiknya. Demikian pula kemenangan Vietnam atas AS serta Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) atas tentara Belanda dalam perang kemerdekaan. Dengan
demikian, faktor nonfisik merupakan kualitas sumber daya manusia dari suatu
organisasi tentara yang harus selalu dibina, diaktualisasikan secara
berkesinambungan lewat pendidikan-latihan-penugasan. Harus selalu menjadi
prioritas teratas, tidak boleh ditempatkan sebagai prioritas kedua, apalagi
keempat.
Operasionalisasi daya
tempur dipengaruhi oleh kemampuan/ penguasaan teknologi serta faktor lingkungan
daerah operasi, seperti medan, cuaca, termasuk dukungan rakyat. Dituntun dan
digerakkan oleh doktrin yang dianut. Pembinaan daya tempur harus mencakup semua
aspek terkait di atas. Ketersediaan alutsista canggih hanya bagian kecil dari
pembinaan, belum mencerminkan dimilikinya daya tempur yang andal. Tingginya
daya tempur TNI merupakan jaminan akan keberhasilan tugas pokoknya sekaligus
menjadi kekuatan tangkal dalam menghadapi setiap ancaman.
Postur dan Gelar TNI
Daya tempur TNI
diwujudkan dalam suatu postur yang unsurnya terdiri dari kekuatan, kemampuan,
dan gelar. Kekuatan dapat diukur dari jumlah divisi, satuan kapal perang, dan
skuadron udara yang dimiliki. Kemampuan merupakan kualitas SDM sesuai uraian di
atas, sedangkan gelar merupakan penyebaran taktis yang bertujuan memperoleh
daya gerak dan daya tembak yang maksimal. Pembinaan postur TNI harus dilakukan
secara berimbang terhadap ketiga unsurnya dan harus bertitik berat pada
pembinaan unsur kemampuan/SDM.
Program MEF TNI pada
praktiknya mengesankan terlalu bertumpu pada aspek kekuatan, aspek kemampuan,
dan gelar kurang mendapat perhatian secara proporsional. Bahkan dalam amanatnya
pada acara HUT TNI lalu, Presiden SBY tidak mengucapkan satu kata pun tentang
aspek kemampuan.Memang, Buku Putih Pertahanan kita telah membahas aspek
kemampuan dan gelar, tetapi masalahnya apakah pembahasan tersebut telah memadai
sesuai kebutuhan? Dalam konteks kemampuan, TNI sangat relevan untuk menyimak
dengan jernih pernyataan Jenderal Benny Moerdani. Ia mengatakan bahwa ”setelah
memadamkan berbagai pemberontakan di era Orde Lama, TNI seperti kehilangan
momentum meningkatkan kemampuannya” (Tempo, 2/10/2014).
Ungkapan ini
dilontarkan sebagai kekecewaan terhadap kualitas prajurit saat operasi Seroja
di Timtim. Tentu ia membandingkannya dengan kemampuan prajurit TNI dalam
operasi militer yang dilakukannya sendiri sebelumnya. Sebagai orang yang cukup
lama berkecimpung dalam operasi militer di Timtim ataupun dalam pembinaan
pendidikan dan latihan, saya sendiri menangkap kesan terjadinya penurunan
kualitas SDM atau aspek kemampuan tersebut.
Kemampuan militer
terutama dibentuk lewat pendidikan spesialisasi. Sayangnya, kuantitas dan
kualitas pendidikan spesialisasi di lingkungan TNI cenderung menurun pasca era
Jenderal M Jusuf sebagai panglima. Penurunan ini tak terhindarkan karena
masalah keterbatasan anggaran. Namun, saat ini, ketika program MEF bergulir,
ketersediaan anggaran sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, tetapi pembinaan
aspek kemampuan/ SDM justru jauh dari memadai, prioritasnya jauh di belakang
pengadaan alutsista.
Hal ini dapat dilihat
dari belum bergeraknya kualitas dan kuantitas pendidikan spesialisasi.
Seharusnya perlu ada penelitian obyektif dan mendalam akan sinyalemen Pak Benny
tadi dengan melibatkan para pelaku sejarah yang masih ada, untuk dijadikan
bahan evaluasi dan perbaikan. Gelar TNI yang mencerminkan daya tempur tinggi
harus didukung oleh sarana dan prasarana militer yang memadai. Matra darat
membutuhkan jaring-jaring jalan raya (jalan pendekat dalam istilah taktis) dengan
kualitas dan kuantitas sesuai kebutuhan untuk manuver pasukan ataupun kendaraan
tempur yang dimilikinya.
Matra laut dan udara
membutuhkan ketersediaan sejumlah pangkalan dalam rangka pengamanan wilayah
Nusantara serta pengawalan kedaulatan. Dalam konteks gelar TNI, kelemahan
paling menonjol ada pada matra laut. Pangkalan TNI AL peninggalan Belanda di
Surabaya merupakan satu-satunya pangkalan yang agak memenuhi syarat karena
dilengkapi dengan fasilitas sandar kapal yang cukup luas, fasilitas pemeliharaan
dan perbaikan, serta fasilitas logistik dan arsenal. Apabila TNI akan
menggerakkan pasukan lewat laut dari berbagai tempat di Indonesia, kapalnya
harus didatangkan dari Surabaya. Selain tidak efisien, kini keberadaan
pangkalan Surabaya terancam oleh pendangkalan Selat Madura, padatnya lalu
lintas kapal dagang serta yang paling rawan adalah hanya dengan satu peluru
kendali atau satu sorti serangan udara, sebagian besar kekuatan TNI AL akan
mengalami kehancuran.
Perlu menjadi
perhatian adagium; ”Sangat berbahaya bagi suatu bangsa jika memiliki kekuatan
tentara yang besar tanpa didukung kemampuan dan kesejahteraan yang memadai,
potensial untuk menjadi bom waktu”. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk
menyempurnakan atau bahkan meluruskan kembali program pembangunan daya tempur
TNI ke depan.
Kiki Syahnakri; Ketua
Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) (sumber Kompas 20
Oktober 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar