Minggu, 24 Mei 2015

Pertahanan Kedaulatan Negara, Pertahanan Poros Maritim Nusantara



http://nulisbuku.com/books/view_book/7332/panduan-tes-masuk-prajurit-tni
Pertahanan Kedaulatan Negara, Pertahanan Poros Maritim Nusantara

Oleh harmen batubara

Indonesia telah berhasil  melahirkan konsep negara kepulauan (archipelagic state) sebagai jati diri bangsa bahari. Melalui Deklarasi Djuanda tahun 1957, Indonesia berhasil memasukkan konsep negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982. Konsep yang menjadikan kantong-kantong laut di antara pulau-pulau menjadi ”penyatu” Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia telah memperluas wilayahnya dari 2.027.087 km2 menjadi 5.193.025 km2. Sayangnya keberhasilan itu belum diikuti oleh keinginan untuk  mengembangkan dan memanfaatkan seluruh potensi wilayah kepulauan itu sebagaimana mestinya hingga munculnya presiden ke 7 Indonesia. Padahal semua tahu potensinya sungguh luar biasa. Sebagai contoh-Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa  potensi ekonomi sektor kelautan  bisa mengganti penerimaan dari sektor minyak dan gas bumi. Pendapatan dari sektor laut bisa mencapai 18,7 miliar dollar AS per tahun atau sekitar Rp 200 triliun. Ini dikatakannya berdasarkan pengalamannya di Pangandaran yang bisa mengekspor 20-30 juta dollar AS per tahun meskipun garis pantainya hanya sepanjang  91 kilometer, sementara garis pantai Indonesia panjangnya 85.000 kilometer. (Koran Tempo, 9/11/2014)
107 Tahun Kebangkitan Nasional

Ketika Indonesia memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional pemerintah waktu itu mengagas apa yang disebut dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk  10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Sebagai masterplan MP3EI jelas sangat konprehensif, dengan pembangunan 6 koridor nasional yang seluruhnya bertumpu pada matra darat. Terobosan Bersejarah Penyusunan MP3EI: Awal Perjalanan Percepatan Transformasi Ekonomi Indonesia. MP3EI memiliki semangat Not Business as Usual. Semangat ini tercermin dari sejak proses penyusunannya di mana rumusan strategi dan kebijakan yang awalnya disusun oleh Pemerintah diperkaya dengan mendengarkan pandangan dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan, terutama dari dunia usaha, melalui serial dialog intensif, interaktif dan partisipatif. Kita melihat dari kacamata Kebangkitan bangsa ada kelanjutan antara MP3EI dengan Tol Laut Maritim Indonesia. Kalau konsep MP3EI itu bertumpu pada darat sementara Tol Laut Maritim menngembangkan potensi itu lewat laut.
Dalam kacamata MP3EI potensi laut juga sangat jelas menonjol dan mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Dalam pandangannya potensi maritim Indonesia terlihat dari : Indonesia Sebagai Negara Maritim Total panjang garis pantai Indonesia yang terbentang sepanjang Samudera India, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Samudera Pasifik, Laut Arafura, Laut Timor, dan di wilayah kecil lainnya. Melekat dengan Kepulauan Indonesia terdapat beberapa alur laut yang berbobot strategis ekonomi dan militer global, yaitu Selat Malaka (yang merupakan SLoC), Selat Sunda (ALKI 1), Selat Lombok dan Selat Makassar (ALKI 2), dan Selat Ombai Wetar (ALKI 3). Sebagian besar pelayaran utama dunia melewati dan memanfaatkan alur-alur tersebut sebagi jalur pelayarannya.
MP3EI mengedepankan upaya memaksimalkan pemanfaatan SLoC maupun ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) tersebut di atas. Indonesia bisa meraih banyak keuntungan dari modalitas maritim ini untuk mengakselerasi pertumbuhan di berbagai kawasan di Indonesia (khususnya Kawasan Timur Indonesia), membangun daya saing maritim, serta meningkatkan ketahanan dan kedaulatan  ekonomi nasional. Untuk memperoleh manfaat dari posisi strategis nasional, upaya Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia perlu memanfaatkan keberadaan SLoC dan ALKI sebagai jalur laut bagi pelayaran internasional.
Garis Depan Konektivitas Global Indonesia Dalam rangka penguatan konektivitas nasional yang memperhatikan posisi geo-strategis regional dan global, perlu ditetapkan pintu gerbang konektivitas global yang memanfaatkan secara optimal keberadaan SLoC dan ALKI tersebut di atas sebagai modalitas utama percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia. Konsepsi  tersebut akan menjadi tulang-punggung yang membentuk postur konektivitas nasional dan sekaligus diharapkan berfungsi  menjadi instrumen pendorong dan penarik keseimbangan ekonomi wilayah, yang tidak hanya dapat mendorong kegiatan ekonomi yang lebih merata ke seluruh wilayah Indonesia, tetapi dapat juga menciptakan membangun kemandirian dan daya saing ekonomi nasional yang solid. Dalam konsep MP3EI wilayah perbatasan RI-PNG menjadi bagian pembangunan koridor 6 perpaduan pengembangan Pusat Ekonomi Kepulauan Maluku dan Papua. Hal yang sama tidak terlihat di Koridor 3 Kalimantan, wilayah perbatasan sama sekali tidak tersentuh.
Tol Laut Maritim Nusantara
Berbeda dengan MP3EI yang mempunyai Blue Print, maka Tol Maritim yang kita tahu baru dari berbagai sumber khususnya tokoh-tokoh tertentu. Misalnya pada saat Presiden Joko Widodo melakukan lawatannya ke Jepang dan Tiongkok kita dengar akan menawarkan peluang investasi untuk membangun 24 pelabuhan yang menjadi pilar proyek infrastruktur tol laut. Begitu juga kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago waktu itu. Andrinof mengatakan, hingga saat ini pemerintah masih menunggu minat serius investor untuk berpartisipasi dalam proyek maritim itu, yang secara total dapat menghabiskan Rp 700 triliun, termasuk belanja pengadaan kapal.
Selain tol laut, kata Andrinof, Presiden juga akan menawarkan investasi untuk proyek infrastruktur jalan raya dan pembangkit listrik dalam lawatannya ke dua negara raksasa di Asia itu. Andrinof tidak menampik keberangkatan Jokowi ke Tiongkok juga karena misi serupa negara Tirai Bambu itu, yang ingin membangun Jalur Sutera, sebuah jalur konektivitas tata niaga dari berbagai wilayah di Asia ke Eropa dan Afrika."Kami ingin lihat dulu apa dari Jepang dan Tiongkok," ujarnya. Kebutuhan investasi untuk tol laut yang diperkirakan Rp 700 triliun itu untuk jangka waktu lima tahun dan akan diupayakan dari investasi pemerintah, BUMN dan BUMD serta swasta. Berdasarkan catatan Bappenas mengenai konsep awal tol laut, sebanyak 24 pelabuhan itu akan dibagi menjadi pelabuhan "hub", pelabuhan utama, dan pelabuhan pengumpul yang mampu mendistribusikan barang ke kota-kota kecil.
Sebanyak 24 pelabuhan itu adalah Pelabuhan Banda Aceh, Pelabuhan Belawan, Pelabuhan Pangkal Pinang, Pelabuhan Kuala Tanjung, Pelabuhan Dumai, Pelabuhan Panjang, Pelabuhan Batam, dan Pelabuhan Padang. Kemudian Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Cilacap, Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Lombok, Pelabuhan Kupang, Pelabuhan Banjarmasin, Pelabuhan Pontianak, Pelabuhan Palangka Raya, Pelabuhan Maloy dan Pelabuhan Bitung,. Selanjutnya adalah Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Ambon, Pelabuhan Halmahera, Pelabuhan Sorong, Pelabuhan Jayapura dan Pelabuhan Merauke.  Selain sarana fisik 24 pelabuhan strategis, pemerintah juga berencana membangun infrastruktur penunjang tol laut, "short sea shipping", fasilitas kargo dan kapal, pengembangan pelabuhan komersial, dan pembangunan transportasi multimoda. Namun pada 2015, pemerintah fokus memulai pembangunan tol laut dari Indonesia Timur.
Akan tetapi satu hal yang menggembirakan adalah bahwa 24 pelabuhan yang menjadi bagian Tol Laut tersebut adalah pelabuhan-pelabuhan yang ada di ke 6  koridor pembangunan MP3EI tersebut. Namun demikian kalau dilihat dari kacamata perbatasan, kedua konsep tersebut (MP3EI dan Tol Laut) di wilayah Kalimantan sama sekali belum menjangkau wilayah perbatasan dan bahkan tidak terkoneksi dengan semangat kerja sama regional Asean yang meliputi Indonesia-Malaysia-Berunai dan Philipina. Jadi kalau kita kaitkan dengan semngat kebangkitan Bangsa pola pembangunan NKRI masih terlihat kesinambungannya antara MP3EI dengan Tol laut Maritim. Kalau dahulu eranya umumnya di darat, maka kini beralih ke laut. Harapan kita pembangunan itu bisa terus berkelanjutan dan mewujud serta tidak melupakan wilayah perbatasan. Selama ini kita selalu mendengarkan bahwa perbatasan itu merupakan halaman depan bangsa. Tapi tiba di konsep sama sekali tidak terikutkan.
Pengamanan Kedaulatan Negara Kepulauan
Konsep negara kepulauan terasa sekali pengaruhnya dalam pembangunan kekuatan pertahanan nasional (TNI) yang mempertahankan Nusantara. Selama ini kita seolah melihat konsep kekuatan trimarta (TNI) kita mengemuka menjadi kekuatan wilayah darat yang terkotak-kotak ke dalam konsep pertahanan Teritorial dalam belasan Komando Kewilayahan. Padahal sejatinya kalau kita mengacu pada kekuatan pertahanan kita di era tahun 60an khususnya di era sebelum Orde Baru, kekuatan TNI ada di laut dan di udara.  Masa itu, kekuatan militer Indonesia menjadi yang terkuat di seluruh belahan bumi timur-selatan. Kekuatan utama Indonesia di saat itu terlihat dari salah satu kapal perang terbesar dan tercepat di dunia buatan Sovyet kelas Sverdlov, dengan 12 meriam raksasa kaliber 6 inchi, dinamai KRI Irian, dengan bobot raksasa 16.640 ton dengan awak sebanyak 1270 orang termasuk 60 perwira. Sovyet, tidak pernah sekalipun memberikan kapal sekuat ini pada bangsa lain manapun, kecuali Indonesia. (bayangkan kapal-kapal terbaru Indonesia sekarang dari kelas Sigma hanya berbobot 1600 ton).

Demikian pula dengan angkatan udara Indonesia, juga menjadi salah satu skuadron udara paling ditakuti di dunia sat itu, yang terdiri dari lebih dari 100 pesawat tercanggih di zamannya yang terdiri dari : 20 pesawat  pemburu supersonic MiG-21 Fishbed ; 30 pesawat MiG-15; 49 pesawat tempur high-subsonic MiG-17; dan 10 pesawat supersonic MiG-19. Pesawat MiG-21 Fishbed misalnya adalah salah satu pesawat supersonic tercanggih di dunia saat itu, yang telah mampu terbang dengan kecepatan mencapai Mach 2. Pesawat ini bahkan lebih hebat dari pesawat tercanggih Amerika kala itu, pesawat supersonic F-104 Starfighter dan F-5 Tiger. Sementara Belanda sendiri masih mengandalkan pesawat-pesawat peninggalan Perang Dunia II seperti P-51 Mustang. Indonesia juga masih memiliki armada 26 pembom jarak jauh strategis Tu-16 Tupolev. Fakta ini membuat Indonesia menjadi salah satu dari hanya 4 bangsa di dunia yang mempunyai pesawat pembom strategis, yaitu Amerika, Rusia, dan Inggris. Pangkalannya terletak di Lapangan Udara Iswahyudi, Surabaya.

Kalau kita mengacu pada negara kepulauan, secara kasat mata Indonesia sesungguhnya membutuhkan lima Armada (terserah soal namanya) Pangkalan Utama TNI-AL  dengan lokasi Belawan, Natuna, Surabaya, Makassar dan Sorong hal yang sama untuk TNI-AU. Dengan demikian kita akan melihat 24 pelabuhan utama yang jadi tulang punggung poros maritim itu akan jadi satu keutuhan dengan pertahanan Laut, Udara dan Darat nasional kita. Dan kita percaya dengan pola seperti itu TNI kita akan mampu menjaga kedaulatan bangsa. Dan kalaupun suatu saat konsep pertahanan Nusantara  Jebol maka masih ada belasan komando kewilahan di darat yang  akan mampu berperang secara mandiri sampai tetes darah terahir.

Tidak ada komentar: