Minggu, 08 November 2009

TNI dan Tantangan Keamanan Regional



DALAM pembicaraan keamanan atau security talks antara Jepang dan ASEAN yang berlangsung di Tokyo pada Maret lalu telah disepakati bahwa ASEAN mutlak menggandeng Jepang dan China sebagai mitra keamanan sejajar dalam memelihara keamanan regional sekaligus menjadi kontributor bagi keamanan di Asia, dan tidak boleh 'berkiblat' pada satu kekuatan yang dominan di benua ini. Dalam konteks tersebut, Sekjen Departemen Pertahanan (Dephan) Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan ASEAN sebaiknya menjadikan Jepang atau China sebagai motor keamanan kawasan dalam memberikan kontribusi bagi stabilitas kawasan. Menurutnya, tren keamanan saat ini sudah berubah sesuai dengan perubahan global yang berlangsung dengan cepat sehingga mutlak memerlukan kerja sama sejajar mengingat masalah keamanan tidak lagi dalam bentuk perang fisik semata, tetapi sudah mencakup persoalan keamanan yang lainnya. Persoalan keamanan regional ini memang jarang muncul dalam wacana nasional kita. Padahal berbagai isu keamanan regional kini jauh lebih rumit dan lebih luas. Selama ini agenda isu keamanan kawasan didominasi berbagai isu keamanan konvensional, namun kini juga semakin disibukkan dengan persoalan keamanan nontradisional. Tren geopolitik lainnya memiliki implikasi ganda bagi TNI. Dalam sebagian besar sejarah Indonesia sebagai negara yang merdeka, kekuatan militer di seluruh dunia di atur dan dipenuhi kebutuhannya secara lengkap untuk membela negara mereka terhadap serangan luar. Namun, sejak invasi Irak atas Kuwait pada 1991, tidak ada lagi perang lintas perbatasan. Oleh karena itu, strategi pertahanan serta keamanan berbagai negara telah disesuaikan untuk tidak melebih-lebihkan serangan militer langsung dari negara lainnya. Lebih jauh lagi, kapasitas militer sebagian besar negara di dunia, seperti yang diukur dari jumlah pengeluaran militer dalam GDP, telah menurun. Keprihatinan global mengenai adanya agresi militer telah menurun, sedangkan perhatian mengenai kekerasan komunal dan etnis dalam negara-negara makin bertambah. Indonesia memenuhi pola ini. Meskipun Indonesia pascakemerdekaan belum pernah mengalami serangan konvensional dari kekuatan luar, Indonesia telah menghadapi berbagai tantangan keamanan internal dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan sejak awal. Mempertahankan integritas negara adalah tugas operasional utama TNI selama ini dan tetap akan menjadi prioritas di masa depan. Oleh karena itu, kesiapan TNI dalam menghadapi tantangan keamanan regional dan global penting untuk dipikirkan. Kerja sama regional Susunan kekuatan di Asia telah menjadi sangat kompleks selama 10-20 tahun terakhir. Perseteruan bersejarah antara Jepang, China, dan India menghalangi tumbuhnya kerja sama regional seperti yang terjadi di Eropa. Kesepuluh anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) yang berada dalam bayang-bayang tiga negara berkuasa itu mendapat banyak keuntungan dari kerja sama regional yang makin kuat, meskipun integrasi ekonomi berjalan secara lambat karena adanya sentimen nasional yang kuat di sebagian besar negara ASEAN.... Amerika Serikat juga merupakan elemen vital dalam susunan kekuatan di Asia. Untuk menonjolkan kepemimpinannya di daerah Asia Pasifik, Amerika Serikat mendirikan APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) pada 1989 yang secara rutin mengadakan konferensi tingkat tinggi. Pada 1994, negara-negara ASEAN mendirikan ASEAN Regional FORUM (ARF), yang memiliki sebagian besar anggota yang sama dengan APEC, untuk menyelesaikan agenda kerja sama yang berpusat di Asia. Indonesia secara alamiah menjadi pemimpin komunitas ASEAN karena pengaruh dan posisi nonbloknya dalam politik global. Dalam kekacauan setelah kejatuhan pemerintahan presiden Soeharto, Indonesia mengambil posisi yang lebih low-profile di ASEAN dan APEC dan aktivitas regional lainnya. Namun, mandat pemilu yang didapatkan pemerintahan Presiden Yudhoyono pada 2004 telah memungkinkan Indonesia untuk mendapatkan kembali perannya sebagai pemimpin. Kecenderungan ASEAN adalah mengedepankan ekonomi dalam berbagai bentuk kerja sama. Namun, dalam beberapa tahun terakhir kecenderungan untuk mengembangkan perjanjian keamanan regional mulai mengambil alih. Misalnya Visi ASEAN 2020, yang terjadi pada 1997, Komunitas Keamanan ASEAN menjadi salah satu dari tiga pilar dalam komunitas ASEAN, selain Komunitas Ekonomi ASEAN dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN. Sebuah langkah kunci dalam mengembangkan Komunitas Keamanan ASEAN adalah diadakannya pertemuan ASEAN Defense Ministers Meeting (ADMM) pada Mei 2006, yaitu pertemuan para menteri pertahanan di ASEAN. Konvensi yang mengikat secara legal tentang perlawanan terhadap terorisme yang ditandatangani di Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada Januari 2007. Puncaknya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-13 ASEAN di Singapura, November 2007 dengan ditandatanganinya ASEAN Charter yang menjadi landasan konstitusional pencapaian tujuan dan pelaksanaan prinsip-prinsip yang dianut bersama untuk pencapaian pembangunan Komunitas ASEAN pada 2015. Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana mengoptimalkan berbagai kerja sama keamanan regional tersebut dalam implementasinya di lapangan? Tantangan keamanan regional Berkaitan dengan lalu lintas paling sibuk Selat Malaka, pembajakan mencapai level yang meresahkan di awal tahun reformasi dan menjadi dorongan yang kuat bagi Singapura, Malaysia, dan Thailand untuk melakukan kerja sama. Selat Malaka memiliki panjang 550 mil dan lebar 330 mil di ujung utara, dan menjorok hingga 1,5 mil di titik tersempitnya. Sebanyak 40% dari perdagangan dunia melewati selat itu, termasuk 80% dari impor minyak China, 80% dari impor minyak dan gas Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan serta dua pertiga dari LNG dunia. Secara kasar, ada sejumlah 600 kapal yang lewat setiap harinya. Singapura, di ujung selatan selat ini, adalah pelabuhan terbesar di dunia. (Percival, 2005). Hasil atas usaha ini tergolong sukses hingga pada titik berhasilnya sindikat asuransi perkapalan Lloyds pada Agustus 2006 mencoret Selat Malaka sebagai zona perang untuk menurunkan premium bagi kapal-kapal yang melaluinya. Ancaman nonmiliter Eksploitasi atas berbagai sumber daya hutan tropis dan laut yang beragam dan sangat berharga disebut-sebut sebagai ancaman eksternal terbesar Indonesia sekarang ini. Indonesia belum pernah memiliki kendali yang efektif atas perbatasannya. Pihak asing memasuki Indonesia untuk mencuri ikan dan menebang pohon secara ilegal untuk kemudian diseludupkan keluar dari Indonesia dengan kuantitas besar, hanya dengan sedikit risiko. Pejabat Departemen Kelautan dan Perikanan pada 2005 memperkirakan bahwa Indonesia mengalami kerugian hingga US$8 juta karena pencurian ikan ke negara asing setiap tahunnya, para pengamat militer menafsirkan kerugian negara hingga US$3 milar-US$4 miliar setiap tahunnya. Sementara itu, menurut laporan terakhir dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), pemotongan kayu secara ilegal menimbulkan kerugian hingga 40 juta meter kubik setiap tahunnya. Jumlah kayu dan produk kayu yang diekspor secara ilegal telah menurun dari 10 juta meter kubik/tahun menjadi 3 juta meter kubik. Namun, jumlah yang rendah ini masih bernilai US$6 juta (Obidzinski, dkk 2006). Di sisi lain, menurut catatan International Herald Tribune, 27 September 2005, kerugian Indonesia dari minyak dan gas selundupan dan produk olahan lainnya bernilai sekitar US$850 juta pada 2005. TNI, kepolisian, dan tujuh institusi pemerintah lainnya berbagi tanggung jawab untuk mengatasi ancaman-ancaman ini, tapi kapasitas teknik untuk melakukannya masih sangat minim. Lebih jauh lagi, ancaman itu dipercaya sebagai bagian dari masalah ini. Pengaturan kembali tentang siapa bertugas apa, di mana, dan bagaimana mekanismenya, perlu diperjelas agar tidak tumpang tindih dan distorsi dalam implementasi di lapangan. Perubahan teknologi dan kesiapan TNI Teknologi militer di dunia telah berkembang secara pesat sama halnya dengan doktrin militer sejak akhir Perang Dingin. Satu kelemahan operasional utama dalam TNI adalah ketergantungannya atas senjata mutakhir dan sistem pendukung di satu sisi dan anggaran pertahanan yang minim di lain sisi. Teknologi baru cenderung memiliki harga yang sangat mahal dalam masalah biaya pembelian, pelatihan, dan pemeliharaan. Namun, beberapa teknologi baru bisa lebih hemat. Misalnya teknologi satelit dan pesawat kendali jarak jauh yang bisa menyediakan lebih banyak informasi dengan biaya lebih rendah daripada pesawat pengawas, juga perlu dipertimbangkan. Mencari gabungan teknologi yang hemat biaya akan menjadi tantangan besar bagi Menteri Pertahanan dan TNI. Kesuksesan mereka bergantung pada penentuan struktur kekuatan untuk tiga angkatan yang bisa bertahan dan tidak perlu berubah setiap beberapa tahun. Perlu inovasi dan terobosan baru untuk memperkuat TNI kita dalam tantangan keamanan regional dan global saat ini. Bukan sekadar wacana belaka. Dirgahayu TNI! Oleh Jaleswari Pramodhawardan, Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI, Kompas, Selasa, 06 Oktober 2009

Tidak ada komentar: