Selasa, 05 Maret 2013

Wialayah Pertahanan, Kemampuan Mobilisasi Udara POLRI dan TNI Vital untuk Daerah Konflik dan Perbatasan. | WilayahPertahanan.Com

Wialayah Pertahanan, Kemampuan Mobilisasi Udara POLRI dan TNI Vital untuk Daerah Konflik dan Perbatasan. | WilayahPertahanan.Com

Saya sangat setuju dengan tulisan  Kiki Syahnakri Black Hawk Lebih Rasional, Kompas 19/2/2013 sebagai senior dan mantan Wakasad, jelas beliau adalah nara sumber yang sahih. Permasalahan postur dan persepsi ancaman memang sering jadi pabaliut, silang siur. Terkait rencana TNI Angkatan Darat berencana membeli 44 helikopter, terdiri dari 24 unit Bell 412 dan 20 unit Black Hawk, Kiki sangat setuju begitu juga saya. Menurutnya, pembelian helikopter itu merupakan bagian dari rencana pembangunan postur TNI AD.
Pandangannya Formula pembangunan postur militer seharusnya mengalir dari proses penghadapan (wargaming) antara ancaman nyata maupun potensi yang dihadapi dan filosofi pertahanan dan politik luar negeri yang dianut. Dari sana dibangun konsepsi sistem pertahanan atau doktrin, yang secara hierarkis berupa doktrin dasar, induk, dan pelaksanaan. Kemudian, berdasarkan doktrin ini dibuat konsep pokok pengorganisasian militer.
Di sisi lain, dari inventarisasi jenis ancaman yang mungkin dihadapi, didapatkan jenis-jenis operasi militer yang mungkin akan dilaksanakan. Selanjutnya, dari penghadapan antara konsep pengorganisasian dan jenis operasi militer yang mungkin dilaksanakan itulah diperoleh postur yang diinginkan. Postur militer mencerminkan aspek kekuatan, kemampuan, dan penggelaran. Menurut Kiki, kurang tepat jika postur TNI dibangun untuk tujuan perimbangan kekuatan karena akan menimbulkan persaingan senjata yang tak sehat dan membahayakan stabilitas keamanan di kawasan.

Kemampuan Tepat guna

Masih menurutnya, berdasarkan paradigma di atas, Buku PUTIH PERTAHANAN INDONESIA 2008 yang masih berlaku sampai saat ini menempatkan ancaman militer berupa PEMBERONTAKAN BERSENJATA, TERORISME, PELANGGARAN WILAYAH, SABOTASE, DAN KONFLIK KOMUNAL SEBAGAI ANCAMAN YANG PALING MUNGKIN DIHADAPI. Bahkan, kini, dalam iklim kebebasan nyaris tanpa batas yang diembuskan liberalisme, konflik komunal dengan berbagai macam latar disertai tindakan kekerasan tampaknya kian meluas dan meningkat sehingga dinilai dapat membahayakan keselamatan dan keutuhan bangsa. Selain itu, negeri ini secara kodrati memiliki potensi bencana alam yang luar biasa besarnya. Potensi ini pun kian bertambah besar karena kita abai terhadap masalah lingkungan.
Tanpa mengabaikan kemungkinan (kecil) operasi militer konvensional, maka jenis operasi militer yang paling mungkin dilaksanakan TNI ADALAH OPERASI LAWAN GERILYA, PENANGGULANGAN TEROR, PATROLI DAN PENGAWALAN PERBATASAN, OPERASI INTELIJEN, DAN TERITORIAL. Selain melaksanakan tugas perbantuan kepada Polri dalam upaya mencegah, meredakan, atau mengatasi berbagai macam konflik, yang kerap dilakukan adalah tindakan pertolongan darurat, mitigasi, dan rehabilitasi atas bencana alam.

Persoalan Khas Indonesia

Berbagai kejadian belakangan ini memang memperihatinkan. Masalah konflik komunalkian menonjol, dan gerakan sipil bersenjata kian mengeras; menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mencatat, sedikitnya sepanjang tahun 2012 terjadi 32 konflik horizontal. Jumlah ini belum termasuk sejumlah peristiwa persekusi terhadap kelompok minoritas dan tawuran antar-pelajar atau mahasiswa. Bentuk konflik yang terakhir tersebut menyebabkan 28 korban meninggal dan 200 orang luka serius. Selain itu, berbagai tindak kriminal ikut mengancam kehidupan masyarakat. Data dari kepolisian menunjukkan, hingga November 2012 telah terjadi 316.500 kasus kriminal. Jika dihitung, hampir setiap 1 menit 31 detik terjadi tindak kejahatan di masyarakat (Tribunnews, 28/1/2013).
Tak hanya itu, sejumlah konflik antar warga bahkan terjadi beberapa kali di satu wilayah. Di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, misalnya, sepanjang 2012 terjadi bentrokan berkali-kali. Sementara itu, konflik antarwarga berlatar belakang etnis di Lampung dan Kalimantan Timur telah terjadi sejak bertahun-tahun sebelumnya. Setali tiga uang konflik komunal yang terjadi di Papua. Sejumlah pihak menilai, konflik yang terus berlangsung di masyarakat diakibatkan oleh ketidakmampuan kepolisian menangani persoalan tersebut. Penerbitan Inpres No 2/2013 memungkinkan pelibatan TNI untuk ikut menangani konflik sosial di masyarakat. Aturan hukum ini menjadi payung hukum sementara penugasan aparat TNI membantu Polri.
Dalam dinamika yang demikian maka pilihan yang baik adalah memberikan daya dukung dan gerak bagi aparat territorial dalam artian Polisi serta TNI terbatas. Kemampuan inilah yang justeru sangat terbatas. Hal yang sama juga disampaikan Kiki bahwa dalam melakukan operasi militer serta semua kegiatan di atas, TNI dituntut memiliki kemampuan mobilitas tinggi sehingga deployment pasukan dapat dilakukan dalam waktu singkat dan masif.
Dalam konteks ini, rencana pengadaan kedua jenis helikopter tadi dinilai sangat tepat, terlebih bila dihadapkan pada konfigurasi wilayah Nusantara dengan segenap karakteristiknya. Jumlah 44 unit atau hampir 3 skuadron besar sangat mungkin untuk di bawah kendali operasikan atau dalam status earmarked bagi beberapa kodam yang memiliki daerah panas dalam wilayahnya sehingga setiap ancaman militer yang dihadapi dapat diantisipasi dan diselesaikan ketika masih embrional.
Kemampuan mobud yang baik akan membuat gerakan pasukan dapat dilakukan lebih cepat dan dukungan logistic bisa diandalkan. Sementara ini justeru kemampuan itulah yang tidak memadai di lingkungan TNI dan POLRI dan itulah juga yang kita lihat di Papua belakangan ini.

Tidak ada komentar: