Selasa, 26 Maret 2013

Selesaikan Masalah Sulu Dengan Kearifan Lokal, Kawasan Perbatasan | KawasanPerbatasan.com



Selesaikan Masalah Sulu Dengan Kearifan Lokal, Kawasan Perbatasan | KawasanPerbatasan.com



Sangat Sulit Selesaikan Masalah Sulu

Dalam Tajuk Kompas 23 Maret 2013 menuliskan bahwa Sangat Sulit Selesaikan Masalah Sulu.  Tajuk itu menuturkan Sultan Sulu meminta Indonesia lebih berperan menjembatani permasalahan antara Malaysia dan Kesultanan Sulu terkait krisis Sabah. Permintaan itu dikemukakan Sultan Sulu Jamalul Kiram III dalam wawancara dengan harian ini di Taguig City, sekitar 30 kilometer selatan Manila, Filipina, Rabu (20/3) sore. Ia juga mengatakan, perundingan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan jalan terbaik bagi kedua belah pihak.
Selintas tidak ada yang luar biasa dari permintaan itu karena Jamalul hanya menginginkan agar Indonesia menjembatani krisis yang terjadi antara Malaysia dan Kesultanan Sulu. Namun, jika didalami, tampak jelas masalahnya tidaklah sesederhana itu. Mengingat pada saat ini, sesungguhnya kekuasaan Kesultanan Sulu sudah tidak ada lagi. Kesultanan Sulu telah melebur dengan Filipina pada tahun 1899. Sejak itu, Kesultanan Sulu sekadar simbol kepemimpinan agama dan adat.
Kesultanan Sulu berdiri pada tahun 1450 di Kepulauan Mindanao, selatan Filipina. Pada masa keemasannya, wilayah kekuasaan Kesultanan Sulu membentang dari Mindanao hingga bagian timur Sabah di Kalimantan Utara. Ketika Spanyol menduduki Filipina tahun 1885, wilayah Kesultanan Sulu di Mindanao diserahkan kepada Spanyol. Sementara wilayah Kesultanan Sulu di bagian timur Sabah dikuasai Inggris. Pada tahun 1899, ketika Amerika Serikat mengambil alih Filipina dari Spanyol, Kesultanan Sulu di Mindanao masuk wilayah Filipina.
Pada tahun 1962, Sultan Sulu Mohammad Esmail Kiram menyerahkan wilayah Kesultanan Sulu di bagian timur Sabah (yang saat itu dikuasai Inggris) kepada Filipina. Hal itu dengan harapan Filipina akan memperjuangkan untuk mendapatkan kembali wilayah timur Sabah dari Malaysia. Namun, satu tahun sesudahnya, tahun 1963, Federasi Malaysia dibentuk, dan wilayah Sabah dijadikan salah satu negara bagian Malaysia.
Nama Kesultanan Sulu kembali muncul ke permukaan ketika ada sekelompok pendukung Sultan Sulu Jamalul Kiram III yang sebagian melengkapi diri dengan senjata menyusup ke Lahad Datu, Sabah, Malaysia, Februari lalu. Disebutkan, jumlahnya mencapai 234 orang. Menurut Jamalul, ia tidak pernah memerintahkan warganya untuk berperang di Sabah. Mereka pergi atas kemauan sendiri.
Aparat keamanan Malaysia mengepung kelompok bersenjata pendukung Sultan Sulu itu dan meminta mereka menyerahkan diri. Namun, kemudian terjadi bentrokan, dan aparat keamanan Malaysia menggempur kelompok tersebut hingga kocar-kacir dan bersembunyi di hutan. Melihat kompleksitas masalah tersebut, sebaiknya Indonesia bersikap sangat hati-hati sebelum melibatkan diri. Rasanya Menteri Marty Natalegawa menyadari hal itu. ”Konflik Sabah adalah masalah yang sangat kompleks karena mengandung persoalan sejarah,” ujarnya.

Masalah Komplek Dalam Penyelesaian Sederhana

Cara Malaysia menyelesaikan masalah kedaulatannya itu adalah hak mereka dan kita tidak mengggurui mereka untuk itu. Tetapi apa yang mereka lakukan terhadap “warga pendatang Sulu” itu, dengan mengerahkan kekuatan penuh militer gabungan udara, laut dan darat telah mencengangkan banyak pihak. Terlebih lagi, setelah mereka memberi “label” teroris kepada warga Sulu yang “menuntut haknya”.
”Saya kecewa dengan Malaysia karena warga saya disebut teroris. Kini mereka telah menjadi korban,” kata Sultan Sulu, Kiram yang didampingi istrinya, Fatima Celia Kiram, dan juru bicara Kesultanan Sulu, Abraham Idjirani, ketika Kompas menanyakan perkembangan terakhir krisis Sabah. Kiram mengatakan, ia tidak pernah memerintahkan warganya untuk berperang di Sabah. November tahun lalu, beberapa orang meminta izin untuk masuk ke Sabah, tetapi ia tidak mengizinkan.
Ia bahkan mengaku menangis menghadapi permintaan beberapa orang. Akan tetapi, ternyata mereka tak bisa dicegah lagi. Ia mengatakan, ada 234 pengikutnya yang masuk ke Sabah dengan biaya sendiri. “Kami berharap Indonesia melakukan sesuatu untuk kami,” kata Kiram, yang menyebut Indonesia terlibat dalam urusan Sabah dengan menandatangani perjanjian Manila Accord pada 31 Juli 1963.
Dalam perjanjian itu disebutkan, Indonesia dan Filipina menyambut baik berdirinya Federasi Malaysia, yang memasukkan sebagian wilayah Pulau Kalimantan (termasuk Borneo Utara atau Sabah), selama dukungan rakyat wilayah-wilayah tersebut dipastikan oleh otoritas independen dan tidak memihak, yakni Sekretaris Jenderal PBB atau pihak yang mewakili. ”Saya berkeinginan masalah ini dirundingkan melalui PBB yang melibatkan sejumlah pihak. Indonesia adalah salah satu pihak yang kami pandang netral dalam kasus ini,” kata Kiram. Ia juga ingin melibatkan beberapa negara lain yang mengetahui batas pasti wilayah Kesultanan Sulu, seperti AS, Spanyol, Belanda, Jerman, dan tentu saja Inggris, pemain kunci dalam masalah Sabah.

Bila Malaysia Berbaik Hati Masalah Bisa di Perkecil

Apa yang terjadi pada Sultan Sulu adalah realita bagaimana seorang Pimpinan suatu Negeri mengantisipasi perubahan zaman. Sebagai warga Filipina dan menyerahkan otoritas wilayah Sulu kepada pemerintah Filipina untuk memperjuangkannya, ternyata membawa malapetaka. Filipina yang dia harapkan bisa memperjuangkan wilayahnya, ternyata hanya jadi sia-sia. Filipina dan Indonesia adalah penanda tangan perjanjian MANILA ACCORD PADA 31 JULI 1963. Perjanjian yang merestui  Sabah masuk Malaysia selama itu hasil pilihan rakyat secara sukarela. Padahal jelas-jelas Sultan Sulu mengamanatkan pada pemerintah Filipina bahwa masalah Sabah adalah wilayah kesultanannya.
Kalau Sultan Sulu membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional, jelas akan membutuhkan waktu lama dengan memerlukan dana yang besar. Khususnya untuk membayar para ahli hukum yang akan mempertahankan haknya. Kalau dilakukan secara “grilia” maka mudaratnya akan sangat besar dan pasti akan jadi kancah baru bagi para pejuang yang saat ini tengah berjuang di berbagai belahan bumi Asia-Pattani di Thailand-Poso, Aceh- Indonesia-Mindanao Filipina. Kalau hal ini mendapat dukungan dana “sedikit saja” dari Timur Tengah, maka lengkaplah sudah pergolakan itu akan jadi magnit yang sangat menjanjikan.
Cara sederhana adalah dengan mengharapkan Malaysia mau merangkul Sultan Sulu dan melokalisir agar permasalahan ini hanya terbatas pada mereka saja. Pilihannya juga masih banyak, bisa lewat konpensasi, bisa juga dengan menjadikannya dan pengikutnya bagai warga kehormatan yang memperoleh legitimasi dari pemerintah Malaysia. Terlebih lagi di Sabah saat ini banyak warga Filipina yang dianggap sebagai pendatang haram atau warga kelas dua dst. Bagaimana mereka memformulasikannya; ya hanya merekalah yang bisa melakukannya. Dan setelah mereka menemukan solusi, barulah dibuatkan “Traktat”nya.

Tidak ada komentar: