Sabtu, 02 Maret 2013

Wilayah Pertahanan, Inpres 2 - MOU Campur Aduk TNI-Polri | WilayahPertahanan.Com

Wilayah Pertahanan, Inpres 2 - MOU Campur Aduk TNI-Polri | WilayahPertahanan.Com


Penerbitan Inpres No 2/2013 dan MOU Nota-Kesepahaman bersama tentang Perbantuan TNI kepada Polri menimbulkan berbagai reaksi. Menurut mereka Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri rawan digunakan kepala daerah untuk kepentingan politiknya. Alasannya, pemerintah daerah kerap menjadi bagian dari konflik horizontal itu sendiri. Ada juga yang melihatnya sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, aturan tersebut dinilai akan dapat menanggulangi berbagai konflik sosial yang belakangan kerap muncul di masyarakat. Namun, di sisi lain, PELIBATAN MILITER dalam penanganan konflik dikhawatirkan akan memicu pelanggaran hak asasi manusia secara masif.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mencatat, sedikitnya sepanjang tahun 2012 terjadi 32 konflik horizontal. Jumlah ini belum termasuk sejumlah peristiwa persekusi terhadap kelompok minoritas dan tawuran antar-pelajar atau mahasiswa yang menyebabkan 28 korban meninggal dan 200 orang luka serius.
Menurut peneliti Imparsial, Gufron Mabruri penerbitan inpres itu memperlihatkan bentuk pelarian dari kegagalan pemerintah dalam mengatasi akar persoalan konflik. Imparsial berpendapat lebih tepat jika pemerintah menyelesaikan akar persoalan berbagai konflik, bukan menggunakan cara-cara represif untuk mengatasinya.
Menurut Abdul Khoir, peneliti Setara Institute, dengan berlindung di balik predikat daerah mengalami gangguan dalam negeri, kepala daerah bisa mengerahkan Polri bahkan TNI. Saat pemilu kepala daerah, misalnya, calon yang sedang berkuasa atau petahana dengan inpres tersebut mendapat justifikasi hukum untuk mengerahkan polisi dan tentara demi kepentingan politiknya. Selain itu, kata Abdul, pemerintah daerah juga kerap menjadi penyebab dan penyumbang konflik sosial.
Direktur Program Imparsial Al Araf melihat, fungsi kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah sebenarnya sudah bersifat koordinatif dengan aparat terkait. Fungsi kepala daerah itu termasuk dalam penanganan dan penyelesaian masalah ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Jadi sebenarnya tidak perlu ada lagi Inpres nomor 2 dan Nota kesepahaman tersebut.
Dinamika Demokrasi
Belakangan ini marak munculnya konflik sosial, seiring dengan pesatnya pembangunan di daerah. Demokrasi telah membuka peluang bagi para pelaksana otonomi daerah untuk membuka usaha di wilayahnya, yang pada gilirannya menimbulkan konflik antara pemilik modal dan masyarakat yang tersisihkan. Konflik kepemilikan tanah merebak karena pemda dan aparat keamanan memihak pada kepentingan pemilik modal. Pertumpahan darah tidak terelakkan. Maunya masyarakat, hal hal yang menjadi penyebab konflik inilah yang sebenarnya perlu di selesaikan secara arif. Sementara dari sisi pemerintah; apapun masalahnya kalau sudah konflik ya harus di ”redam”.
Berbagai kejadian memang menggenaskan. Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mencatat, sedikitnya sepanjang tahun 2012 terjadi 32 konflik horizontal. Jumlah ini belum termasuk sejumlah peristiwa persekusi terhadap kelompok minoritas dan tawuran antar-pelajar atau mahasiswa. Bentuk konflik yang terakhir tersebut menyebabkan 28 korban meninggal dan 200 orang luka serius. Selain itu, berbagai tindak kriminal ikut mengancam kehidupan masyarakat. Data dari kepolisian menunjukkan, hingga November 2012 telah terjadi 316.500 kasus kriminal. Jika dihitung, hampir setiap 1 menit 31 detik terjadi tindak kejahatan di masyarakat (Tribunnews, 28/1/2013).
Tak hanya itu, sejumlah konflik antar warga bahkan terjadi beberapa kali di satu wilayah. Di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, misalnya, sepanjang 2012 terjadi bentrokan berkali-kali. Sementara itu, konflik antarwarga berlatar belakang etnis di Lampung dan Kalimantan Timur telah terjadi sejak bertahun-tahun sebelumnya. Setali tiga uang konflik komunal yang terjadi di Papua. Sejumlah pihak menilai, konflik yang terus berlangsung di masyarakat diakibatkan oleh ketidakmampuan kepolisian menangani persoalan tersebut. Penerbitan Inpres No 2/2013 memungkinkan pelibatan TNI untuk ikut menangani konflik sosial di masyarakat. Aturan hukum ini menjadi payung hukum sementara penugasan aparat TNI membantu Polri.
Jalan Keluar Yang Menyejahterakan
Yang sering kita lihat selama ini, kalau sudah terjadi konflik maka hal itu tidak bisa dibiarkan dan pilihannya hanya ada satu. Hentikan konflik itu, untuk kemudian dilakukan proses hukum. Upaya untuk menghentikan itulah yang mendorong terbitnya Inpres no 2 dan Nota Kesepahaman antara Polisi dan TNI. Kalau dilihat dari sisi manapun ya pasti ada kelemahannya, terlebih lagi misalnya Nota Kesepahaman yang malah bertentangan dengan dengan  UU nya sendiri, akan tetapi secara substansi sebenarnya tidak; sebab TNI sendiri mempunyai Tugas Pokok Operasi Militer Selain Perang.
Demikian juga dengan Inpres no 2 nya sendiri, apa yang disebutkan oleh Direktur Program Imparsial Al Araf yang melihat, fungsi kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah sebenarnya sudah bersifat koordinatif dengan aparat terkait. Masalahnya pada faktanya banyak kepala daerah yang sebenarnya juga tidak memahami perannya sebagai kepala daerah. Sehingga yang muncul adalah adanya semacam pembiaran, Bupati atau Gubernurnya Bingung, Polisinya ke walahan dan TNInya diam menunggu panggilan.
Namun, beberapa pihak menengarai, bisa jadi akan muncul sejumlah persoalan terkait penerbitan aturan tersebut. Pertama, inpres ini dikhawatirkan membuka peluang militer masuk kembali ke ranah kehidupan sipil seperti pada era Orde Baru. Kekuasaan militer menjadi tak terbatas. Pelanggaran hak asasi manusia yang masif berpotensi terulang kembali.
Menurut mereka dalam situasi saat ini pun, ketika polisi masih memegang peran untuk penanganan konflik sosial, sering terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), baik oleh polisi maupun tentara. Catatan Komisi Nasional HAM menunjukkan, sepanjang tahun 2012, aparat kepolisian merupakan pihak yang paling banyak diadukan masyarakat, dengan 1.635 kasus.
Semua pihak setuju, bagaimanapun, konflik sosial tak mungkin diselesaikan hanya dengan pendekatan keamanan semata. Tetap diperlukan peran serta masyarakat, peran para penggiat HAM dan juga LSM untuk memastikan prosesnya bisa disalurkan pada saluran hukum yang sebenarnya. Bahwa militer akan kembali lagi seperti zaman Orba jelas tidak mungkin, UU telah membentangkan aturannya secara tegas.
Bahwa berdasarkan catatan para penggiat HAM di dalam banyak kasus, penyelesaian konflik lebih sering menggunakan cara-cara represif ketimbang mengatasi akar konflik. Kita juga melihat itu. Kondisi inilah yang menyebabkanbentrokan antarwarga terus berulang semua juga paham. Tetapi sekali lagi semua pihak harus melakukan fungsinya dengan sebaik-baiknya dan jadikan proses demokrasi ini tetap pada jalurnya.

Tidak ada komentar: