Hari-hari belakngan ini kita melihat Thailand, sibuk dan dilanda upaya pembangkangan Sipil, yang dimotori oleh kelompok kaus merah, para pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang hingga kini masih menjadi pusat konflik di negara itu. Apa sesungguhnya yang mereka tuntut? Adalah sebuah keadilan; keadilan yang ternyata “sangat sulit” untuk di pahami. Menurut ketua kelompok kaos merah; ”Apa yang terjadi di masa lalu tidak adil, mereka menyebutnya standar ganda. Kami ingin mengoreksinya, tak hanya untuk Thaksin, tetapi semua orang,” begitu kata Jatuporn,pimpinan Kaos Merah.( Thaksin, Militer, dan Melemahnya Dukungan bagi Abhisit/Kompas/30 Maret 2010). Apa sebenarnya yang terjadi di negeri Gadjah Putih itu?
Dari catatan yang bisa saya kumpulkan dari Kompas dan Media Indonesia, kita melihat di awal tahun 2008, Militer Thailand mengakui bahwa kudeta yang mereka lakukan terhadap PM Thaksin Shinawatra, september 2006 telah gagal. Kudeta tersebut tidak sanggup menghapus pengaruh Thaksin. Pernyataan tsb dinyatakan oleh Kepala Angkatan Udara Thailand Chalit Pukbhasuk. Bahkan kekuatan Thaksin malah bangkit. Boleh dikatakan, kabinet Samak didominasi oleh sekutu-sekutu Thaksin. Chalit juga mengumumkan bahwa Dewan Keamanan Nasional (CNS), yang dibentuk militer pasca kudeta untuk menjalankan kekuasaan, secara resmi dibubarkan. Pernyataan itu juga sekaligus memintakan permohonan maaf kepada rakyat, karena tidak berhasil, CNS memang tidak mencoba merebut kekuasaan; menurut mereka, militer telah berbuat yang terbaik untuk negeri itu; atas nama CNS saya memintak maaf katanya.
Ketika KPU Thailand 23 Desember 2007, mengumumkan, Partai Kekuatan Rakyat (PPP, pendukung Thaksin) meraih 233, dari 480 kursi Majelis Rendah. Atau hanya kurang 8 kursi agar jadi posisi mayoritas. Sementara Partai Demokrat (Partai Militer yang didukung oleh Raja Bhumibol) hanya memperoleh 165 kursi. Lainnya partai Chart Thai 40, dan Puea Pandin 24 kursi. Setelah membentuk koalisi, ppp dan sekutunya menguasai 315 kursi di parlemen; 28 Januari 2008 Samak Sundaravej terpilih sebagai PM Thailand dengan merebut 310 suara parlemen; tanggal 29 Januari 2008 Samak resmi jadi PM Thailand setelah direstui oleh Raja.
Bagaimana mungkin, rakyat yang mengelu elukan Raja pada ulang tahunnya yang ke-80, pada 5 Desember 2007, ternyata dalam pemilu justeru memberikan suaranya kepada PPP, yang juga adalah pendukung Thaksin Shinawatra, mantan PM tersingkir. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah negeri yang begitu menyayangi Rajanya, tetapi ketika dilakukan pemilu, malah justeru memilih partai yang berseberangan dengan sang Raja. Adakah nilai-nilai keadilan, yang semestinya harus di junjung tinggi serta di hormati oleh semua pihak, tetapi lalu diabaikan dan dihinakan? Mungkin ada baiknya kita melihat kejadian yang ada di Thailand, sebagai cermin yang patut untuk jadi bahan renungan, bahwa keadilan, harus tetap jadi pertimbangan..entah bagaimanapun keadaannya.
Kalau kita baca secara sederhana, sesungguhnya yang terjadi adalah adanya penolakan terhadap keterlibatan militer di ranah demokrasi. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh seorang Thaksin, yang nota bene juga masih dari kalangan pendidikan militer. Bahwa suatu masa dahulu, militer sangat kommpeten dan mampu dengan baik mengelola negeri itu, ya. Tetapi zaman sudah berubah, rakyat membutuhkan sesuatu yang lain, hanya saja pihak militer, masih tetap dalam persfektip lama; dan mereka percaya, rakyat masih sangat mendambakannya.
Bedanya dengan di negeri kita, TNI sepenuhnya menyadari bahwa zaman sudah berubah, dan telah mengambil posisi sesuai kehendak demokrasi. Dalam demokrasi yang ada adalah suara rakyat, bukan kekuatan lain. Dalam sistem demokrasi, suara rakyat tidak bisa dikangkangi dan kalau mau mengikuti kehendak zaman, ya harus ikut berdemokrasi dan memperbaiki demokrasi itu sendiri; dengan cara menjadi sesuatu yang professional sesuai panggilan tugasnya. Kita percaya, Thailand pasti bisa melewatinya, sebab Negara itu mempunyai trek record yang tidak bisa diragukan. Persoalannya, akankah cara-cara demokrasi yang akan mengemuka? Sebab dalam batasan operasi militer selain perang secara universal , aktivitas radikal seperti yang diperlihatkan oleh kelompok kaus merah, sudah sah dihadapi dengan kekuatan militer. Hanya saja, kalau itu yang dipakai, maka kaus merah pasti akan mendapatkan legitimasi baru dan keluar sebagai pemenang. Pertarungan sebuah demokrasi.
Apa sesungguhnya yang kini tengah bertarung adalah pertaruangan antara Demokrasi vs Militer. Katakanlah jika Kaus Merah ( simbol Demokrasi) berhasil mencapai tujuannya, kalangan elite tidak hanya kehilangan kekuatan politik mereka, tetapi juga hak istimewa politik dan ekonomi yang mereka nikmati berkat sistem politik Thailand. Karena itu hal seperti ini tidak mungkin akan dibiarkan; dengan demikian dipercaya ” berarti elemen keras dalam pemerintahan dan militer akan menggunakan segala cara untuk menekan Kaus Merah, tak peduli berapa pun jatuh korban,” Hal seperti inilah yang logis bakal terjadi. Pemerintahan Abhisit jangan sampai jatuh, apapun resikonya.
Pada 10 April, militer telah melakukannya dengan tegas, mereka bergerak untuk membubarkan pemrotes di salah satu basis mereka di kawasan kota tua Ratchadamnoen di dekat Jembatan Phan Fa dan Monumen Demokrasi. Hasilnya, 24 orang tewas, termasuk lima tentara dan seorang wartawan Reuters asal Jepang, Hiro Muramoto. Jatuhnya korban dalam bentrokan itu merupakan yang terburuk sejak aksi protes antimiliter tahun 1992 dan sangat disayangkan. Wajah pemerintahan Abhisit tercoreng, sementara Kaus Merah menjadi kekuatan baru dan semakin nekat pula. Masalahnya, perlukah korban baru yang lebih besar lagi?
Pertarungan Yang Menentukan
Pemerintah Thailand kini menuding adanya elemen garis keras di kalangan Kaus Merah dan menyebutnya sebagai ”teroris”. Dalam pidatonya, Jumat, Abhisit mengatakan, otoritas baru yang diberikan kepada militer bisa dimanfaatkan untuk mengerahkan segala sesuatunya, termasuk menggerakkan pasukan militer secara lebih padu dan lebih besar sehingga bisa menangani ”aktivitas terkait terorisme secara spesifik”dan para demonstran secara umum. Istilah terorisme di kalangan Kaus Merah muncul setelah jatuh korban di pihak tentara. Apalagi seusai bentrokan, Kaus Merah mengambil senjata-senjata yang mereka katakan dirampas dari militer. Militer meminta senjata-senjata itu dikembalikan, tetapi kini tidak jelas keberadaan senjata itu (Kompas 20,4).
Saat ini, skenario terbaik yang bisa diharapkan untuk mengakhiri krisis politik di Thailand adalah jika kelompok elite sadar dan meminta militer untuk menahan diri. Tetapi kelihatannya hal seperti itu adalah sesuatu yang tidak mudah untuk bisa dilakukan. Tanda-tanda adanya kesadaran baru bahwa konstelasi politik telah berubah dan bahwa hak istimewa yang mereka nikmati selama ini sudah tidak lagi bisa diterima oleh mayoritas masyarakatnya masih belum bergeser. Militer dan lingkungan elitenya masih menginginkan agar Negara berjalan sebagaimana mestinya, dan demokrasi harus dapat dikendalikan sesuai dengan karakter bangsa.
Sebaliknya, skenario terburuk adalah jika tindakan keras diambil untuk menumpas gerakan Kaus Merah. Thailand akan terjerumus dalam kekacauan yang membawa negara itu ke jurang kekacauan bahkan bisa jadi kehancuran. Tetapi untuk menerima perubahan, terlebih lagi munculnya kembali Thaksin, adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh kaum militer dan para elite di sekitarnya. Bagi mereka, demokrasi yang tengah di usung kaus merah, pada dasarnya bukanlah demokrasi yang bisa diterima para pihak; meski untuk tetap membiarkan militer terus mengambil alih kedaulatan, juga adalah sesuatu yang sudah tidak pada tempatnya lagi. Semua itu pasti akan kita temukan jawabannya dalam minggu-minggu mendatang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar