Senin, 21 Desember 2009

Penting Bangun Papua, Jangan Hanya Protes Melulu

Soal papua masih tertinggal, sebenarnya masih banyak daerah Indonesia lainnya yang juga masih morat-marit . Malah seperti kasus seperti luberan lumpur PT Lapindo Brantas di Porong, Jawa Timur, serta rencana pembukaan tambang emas yang dapat mengancam kelestarian Taman Nasional Komodo di NTT. Demikian juga persoalan kemiskinan, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan, bukan hanya terjadi di Papua. Memang benar demikian. Daerah-daerah lain di Indonesia, seperti NTT dan Nusa Tenggara Barat (NTB), juga dihadapkan pada persoalan serupa. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dua daerah itu tidak berbeda jauh dibandingkan dengan Papua. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, IPM Provinsi Papua pada 2005 hanya 62,1, sementara IPM NTT 63,6 dan NTB 62,4 atau tergolong dalam kategori menengah ke bawah. Semua masih setara, pembangunan NKRI itu memang baru diangan-angan, kalaupun dilaksanakan maka yang dipakai untuk membangun itu baru 30% saja, selebihnya di korupsi oleh para pengelolanya.

Yang berbeda dengan daerah lain adalah besarnya anggapan gerakan separatism dalam semua dinamika masyarakat Papua, seolah-olah apa saja yang dilakukan warga, kalau itu bernada protes, maka selalu dan umumnya akan dicap sebagai begian dari gerakan separatisme. Beda dengan daerah lain di Atambua, misalnya, kritik atas persoalan kemiskinan tidak serta-merta dikaitkan dengan separatisme. Beda sekali dengan Papua. Di Wamena, misalnya, seorang petani, Opinus Tabuni, ditembak mati dalam acara peringatan hari pribumi. Menurut penyusuran Komnas HAM, penembakan itu terkait dugaan bahwa Opinus terkait dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Atau kasus lain, yaitu penembakan terhadap Isak Psakor (15), warga Kampung Kibay, Kabupaten Keerom, Papua. Penembakan terjadi saat ia hendak pulang kembali ke kampungnya setelah bepergian ke Skotiau, sebuah kampung di perbatasan Papua Niugini. ”Ia ditembak karena dianggap anggota OPM dan membawa senjata. Padahal, itu semua tidak benar,” kata Pater John Jonga yang turut mengadvokasi kasus tersebut.(Kompas, B Josie Susilo Hardianto,16/12/09).

Saya percaya “Obama” nya Indonesia akan lahir di Papua, mereka selama ini memang dianggap serba terbelakang. Tetapi percayalah kelas SDM mereka sebenarnya bukanlah kelas SDM murahan, kalau kesempatan ada mereka bisa tampil, malah di tingkat internasional sekalipun. Fakta tentang itu banyak. Masalahnya adalah selalu ada yang mencari ikan di air keruh, dan selalu mengedepankan proses penyatuan Papua jadi NKRI jadi pertanyaan. Padahal dalam tatanan hukum internasional ada yang disebut “Uti Possidetis Juris” atau pewarisan wilayah pemerintah colonial kepada Negara baru selepas penjajahannya. Jadi penggabungan itu sudah final. Masalahnya adalah bagaimana kita membangun Papua dengan bijak.

Tetapi sebenarnya saya setuju dengan pandangan Tantowi Yahya, anggota Komisi-I DPR-RI, yang kebetulan saat mereka melakukan kunker ke wilayah perbatasan saya sempat bertukar pikiran dengan beliau. Tantowi melihat membangun Papua tidaklah sulit, yang penting ada suatu gerakan moral yang mau membangun secara tulus Papua dengan hati. Di DPR-RI misalnya ada suatu kaukus tentang Pembangunan Papua, begitu juga di tingkat LSM, di tingkat Perguruan Tinggi, di lingkungan Pemda, dan di kalangan pengusaha atau di semua lapis masyarakat ada simpul-simpul yang mensinergikan pembangunan Papua dengan hati. Tantowi yakin, kalau gerakan itu bisa ditumbuhkan pembangunan Papua akan beda.

Lihatlah pada dana otsus yang diterima Provinsi Papua periode 2002-2009 mencapai sekitar Rp 18,7 triliun. Jumlah itu tidaklah sedikit, masalahnya kemana saja uang itu diberikan? Jangan lupa masyarakat Papua itu sangat heterogen, banyak suku dan antara suku yang satu dengan lainnya juga bukanlah berkawan. Semangat untuk saling mengeliminasi suku lain itu sangat besar. KKN di sana sama dengan daerah NKRI lainnya sangat laur biasa. Penduduk miskin di Papua jumlahnya banyak, tahun 2001 mencapai 41,8 persen dan tahun 2008 turun menjadi 37,53 persen. Ini memang berat, dan tantangan nya luar biasa, sebab warga miskin itu sebagian besar penduduk yang tinggal di kampung-kampung dan hampir semuanya orang asli Papua.

Memang perlu membangun Papua dengan semangat mengutamakan pribumi ala Mahathir Mohammadnya Malaysia masa lalu, yang memberikan prioritas secara berimbang bagi penduduk pribumi, disamping penduduk lainnya dalam konteks Papua ya pendatang dari daerah lainnya. Sehingga di sana aka nada kantong-kantong murni pribumi, ada kantong bauran/campuran dan ada kontong khusus. Sehingga warga Papua dapat berkompetisi secara alami.

Selama ini yang jadi fakta adalah adanya unsur dari berbagai elemen dan faksi di Papua yang selalu ingin menyelenggarakan Dialog, baik dialog dalam skala nasional (hanya Pemerintah RI dan masyarakat Papua) maupun internasional. Kita tahu, keinginan seperti itu, bisa jadi sangat tulus. Tetapi kalau melihat lemahnya system pertahanan Negara kita, maka penyelenggara Negara juga hawatir hal-hal semacam itu dapat dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan mereka sendiri. Tetapi untuk membangun Papua ke depan ada baiknya kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mau dan berkehendak untuk mematangkan rencana dialog seperti itu dalam agenda kerja 100 hari kepemimpinannya. Membangun Papua memang harus, tetapi dalam kerangka NKRI yang utuh dan itu sudah final dan hendaknya jangan mengaitkan antara penambahan kekuatan pertahanan di daerah itu, sebab itu bagian dari pertahanan Indonesia sebagai NKRI, ga ada hubungannya dengan separatisme Papua.

Tidak ada komentar: