Minggu, 09 Agustus 2015

Pertahanan, Tantangan Panglima TNI Baru



Pertahanan, Tantangan Panglima TNI Baru
Al araf
Presiden Joko Widodo akhirnya mengajukan nama Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai calon tunggal Panglima TNI ke DPR. Menurut rencana, dalam pekan ini DPR akan membahas calon tunggal Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, yang sebelumnya menduduki jabatan Kepala Staf TNI AD. Dipilihnya Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai calon tunggal Panglima TNI tentu mengejutkan sebagian kalangan mengingat Panglima TNI saat ini, Jenderal Moeldoko, juga berasal dari Angkatan Darat. Dugaan publik selama ini kemungkinan Presiden akan memilih calon Panglima TNI yang berasal dari Angkatan Udara atau Angkatan Laut, mengingat sejak masa Presiden Abdurrahman Wahid ada kebiasaan dalam proses pergantian Panglima TNI yang dilakukan secara bergantian antarangkatan.

http://www.wilayahpertahanan.com

Tantangan. Meski tidak ada aturan yang mengharuskan agar pergantian Panglima TNI dilakukan secara bergantian, ada sebuah anjuran dalam undang-undang TNI agar posisi Panglima TNI dapat dipilih secara bergantian. Pasal 13 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan bahwa jabatan panglima dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai kepala staf angkatan.
Meski demikian, kebijakan Presiden memilih Gatot Nurmantyo sebagai calon tunggal Panglima TNI ini agak menarik. Biasanya presiden yang baru terpilih tidak mau mengangkat calon Panglima TNI yang terkait dengan rezim pemerintahan sebelumnya. Gatot Nurmantyo adalah Kepala Staf TNI AD yang diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi dipilih Presiden Jokowi menjadi calon tunggal Panglima TNI. Pergantian Panglima TNI merupakan agenda yang bersifat rutin. Namun, pergantian kali ini memiliki makna penting bukan hanya bagi TNI, melainkan juga bagi publik sebab agenda ini akan memiliki pengaruh terhadap dinamika TNI ke depan. Apalagi TNI dewasa ini masih menghadapi berbagai tantangan baik internal maupun eksternal.
Posisi Panglima TNI memiliki nilai yang strategis sehingga pergantian ini bukan semata-mata sebagai pergantian sosok, melainkan juga perlu dibarengi oleh kerangka untuk mendorong munculnya sosok Panglima TNI yang bisa mendorong TNI semakin profesional. Lebih dari itu, Panglima TNI baru harus tunduk terhadap otoritas sipil dan patuh terhadap semua aturan hukum.Dalam perspektif publik tentu kita sangat berharap agar Panglima TNI yang akan terpilih nanti memiliki komitmen untuk mendukung dan tidak resistensi terhadap agenda reformasi TNI yang perlu segera diselesaikan oleh otoritas sipil. Salah satunya adalah agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU No 31/1997. Di sisi lain, otoritas sipil juga perlu merealisasikan agenda peningkatan kesejahteraan prajurit sehingga sedikit banyak hal itu dapat memengaruhi profesionalisme prajurit.
Belakangan ini kebijakan TNI mendapatkan sorotan dari masyarakat, yakni terkait maraknya pelibatan TNI dalam ranah sipil melalui berbagai MOU TNI dengan kementerian dan instansi sipil lainnya. Dalam konteks itu, Panglima TNI baru perlu mengevaluasi berbagai MOU tersebut. Secara normatif, tugas TNI dalam menjalankan operasi militer selain perang hanya bisa dilakukan jika itu memang merupakan bagian dari tugas TNI sebagaimana dimaksud UU TNI, yang didasarkan kepada keputusan politik negara (Pasal 7 Ayat 2 juncto Pasal 7 Ayat 3 UU TNI) dan bukan didasarkan kepada MOU. Dengan demikian, bila MOU TNI yang telah dibuat ternyata tidak sejalan dengan UU TNI, Panglima TNI baru perlu mengevaluasinya.
Selain itu, persoalan konflik oknum anggota TNI dengan masyarakat, oknum anggota TNI dengan anggota Polri, oknum anggota TNI dengan anggota TNI menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi Panglima TNI baru. Untuk pembenahan itu, secara internal Panglima TNI baru perlu membenahi dan meningkatkan kedisiplinan prajurit dan secara eksternal perlu membuka diri untuk mendukung agenda reformasi peradilan militer yang perlu segera dilakukan otoritas sipil.
Visi maritim. Sebagai sebuah visi, Presiden Jokowi memang memiliki visi yang jelas terkait dengan pembangunan poros maritim. Visi politik Presiden, yang menyatakan kita sudah terlalu lama memunggungi laut dan pentingnya pembangunan maritim, merupakan visi politik yang baik dan diharapkan akan memengaruhi cara pandang serta kebijakan politik negara pada era Jokowi ini.
Di sektor pertahanan, pembangunan maritim tentunya perlu diikuti dengan upaya membangun kekuatan pertahanan maritim. Dengan demikian, visi politik Presiden itu perlu diterjemahkan dan diformulasikan dalam kebijakan pertahanan negara. Mengacu kepada UU pertahanan negara, maka Presiden membuat kebijakan umum pertahanan negara dan Menteri Pertahanan membuat kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara (Pasal 13 Ayat 2 UU No 3/2002 juncto Pasal 16 Ayat 3 UU No 3/2002).Dalam pelaksanaannya, Panglima TNI harus melaksanakan dan menjalankan kebijakan pertahanan negara tersebut, mengingat hal itu merupakan salah satu tugas dan kewajiban Panglima TNI yang diatur dalam Pasal 15 Ayat 2 UU TNI. Dalam konteks itu, siapa pun yang menduduki jabatan Panglima TNI perlu memperhatikan visi maritim Presiden.
Gagasan maritime security dalam konteks pertahanan tentunya perlu memperhatikan dan memprioritaskan pentingnya pembangunan kekuatan angkatan laut dan angkatan udara, mengingat orientasi pertahanan maritim membutuhkan bangunan kekuatan laut dan udara secara bersamaan. Meski demikian, pembangunan kekuatan darat tidak boleh ditinggalkan karena konsep trimatra terpadu dan strategi pertahanan yang berlapis. Prioritas kebijakan pertahanan itu bisa meliputi kebijakan tentang postur TNI, procurement, anggaran, dan lainnya. Konsekuensi dari hal ini adalah pentingnya melakukan agenda restrukturisasi komando teritorial sebagai bagian dari gelar kekuatan postur TNI dan mengubahnya menjadi kesatuan gelar kekuatan yang terintegrasi.
Pada akhirnya, siapa pun yang nantinya akan menduduki jabatan Panglima TNI, maka semua prajurit harus tunduk dan patuh atas pilihan Panglima TNI yang dipilih Presiden dan disetujui DPR. Tak boleh ada prajurit TNI dari angkatan mana pun yang bisa dan boleh menolak atas pilihan Presiden tersebut. Saya yakin semua prajurit memiliki jiwa yang besar dan lapang untuk tunduk dan patuh atas Panglima TNI yang dipilih Presiden dan disetujui DPR. Terakhir, selamat kepada Jenderal Gatot Nurmantyo jika akhirnya DPR menyetujui sebagai Panglima TNI dan semoga tetap tunduk dan patuh kepada otoritas sipil.
Al Araf - Direktur Program Imparsial, Pegiat Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (Sumber: Kompas 12 juni 2015)

Tidak ada komentar: