Makna
Dibalik Kunjungan Raja Salman ke Indonesia
Oleh
Lalu Muhamad Iqbal
Kunjungan
Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud ke Indonesia pada 1-9 Maret 2017
menjadi topik tren (trending topic), baik di media arus utama maupun media
sosial selama beberapa minggu terakhir. Ini adalah babak baru dalam hubungan
bilateral Indonesia-Arab Saudi setelah kunjungan terakhir Raja Arab Saudi 47
tahun lalu.
Kunjungan
ini memang fenomenal. Ini kunjungan kenegaraan oleh kepala negara sahabat yang
terbesar sejak Indonesia merdeka. Jauh lebih besar daripada kunjungan Presiden
Barack Obama pada 2010. Bagi Arab Saudi, kunjungan kenegaraan ke Indonesia kali
ini juga kunjungan ke luar negeri terbesar dan terlama. Dengan jumlah anggota
rombongan mencapai 1.500 orang, kunjungan ini jauh lebih besar daripada
kunjungan ke Malaysia pada 26-28 Februari 2016 yang “hanya” diikuti sekitar 600
anggota rombongan. Kunjungan fenomenal ini bukanlah sebuah kebetulan.
Konstelasi politik global dan regional di Timur Tengah (Timteng) serta
faktor-faktor ideosinkretik ikut melatarbelakangi kunjungan ini.
Perubahan konstelasi regional
Perbaikan
hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat pada umumnya
dengan Iran seputar isu nuklir Iran mengubah total peta politik dan perimbangan
kekuatan di Timteng. Puncaknya adalah ditandatanganinya Comprehensive Agreement
on the Iranian Nuclear Program di Lausanne, 2 April 2015 oleh Iran dengan tujuh
pihak (AS, Rusia, Perancis, Jerman, China, Inggris, dan Uni Eropa). Hubungan
Arab Saudi (bersama lima negara Teluk lainnya) dengan Iran dan AS (bersama negara Barat lainnya)
adalah segitiga hubungan yang sangat unik. Segitiga hubungan ini menjadi pilar
konstelasi politik dan perimbangan kekuasaan di Timteng.
Arab
Saudi adalah negara terbesar di Timteng dan praktis menjadi sekutu utama AS di
Timteng sejak Revolusi Iran 1979.
Intensitas saling ketergantungan kedua negara sangat tinggi. Bagi Saudi,
AS adalah penyuplai senjata dan sistem pertahanan utama. Pada periode
2011-2015, Saudi adalah pembeli terbesar alutsista dari AS. Selain itu, AS
adalah penyedia payung politik dan keamanan utama yang menjadikan Saudi negara
teraman di Timteng selama ini.
Sementara
itu, bagi AS, Saudi adalah penyuplai minyak utama dan salah satu dari pemegang
terbesar surat utang Pemerintah AS. Menurut data resmi Pemerintah AS, Saudi
memiliki surat utang Pemerintah AS senilai
116,8 miliar dollar AS dengan total kepemilikan dana dan aset di AS
mencapai sekitar 750 miliar dollar AS. Diyakini bahwa langkah apa pun yang akan
dilakukan Saudi untuk menggerakkan aset sebesar itu di AS, akan memiliki dampak
luas terhadap perekonomian AS secara keseluruhan.
Sementara
itu, AS dan Iran tak pernah memiliki hubungan diplomatik resmi sejak Revolusi
Iran. Selama beberapa dekade AS melihat Iran sebagai salah satu ancaman utama.
AS menganggap Iran, melalui proksi-proksinya,
sebagai sponsor utama terorisme di Timteng. Presiden Bush bahkan
menyebut Iran bagian dari “persekutuan iblis” (axis of evil). Manifestasi
paling nyata dari perseteruan AS-Iran adalah isu program nuklir Iran yang
berangkat dari dugaan bahwa Iran memiliki aspirasi membangun persenjataan
nuklir.
Di
lain pihak, hubungan Saudi-Iran selalu kental dengan persaingan pengaruh di
kawasan Timteng. Persaingan itu menjadi semakin kental karena bernuansa rasial
(Arab-Persia) dan sektarian (Sunni-Syiah). Saudi menganggap Iran sebagai bahaya
nyata, bahkan mungkin lebih nyata ketimbang Israel. Faktor keislaman (baca:
Organisasi Kerja Sama Islam) faktanya adalah satu-satunya faktor yang
menjadikan kedua negara tetap memiliki komunikasi resmi selama ini.
Dengan
konstelasi yang demikian, perbaikan hubungan AS-Iran pasca April 2015 jelas
seperti mimpi di siang bolong bagi Saudi. Ini menjadikan Saudi sadar bahwa
mereka tidak dapat lagi bergantung sepenuhnya kepada sekutu Barat, khususnya
AS. Ini menyadarkan Saudi untuk membangun kembali silaturahmi dan persekutuan
dengan kekuatan-kekuatan dunia lainnya yang selama ini terabaikan. Dalam hal
ini, negara-negara besar di dunia Islam
adalah pilihan paling realistis.
Arah
baru ini terekam jelas saat Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi melakukan
kunjungan kehormatan pertama kali kepada
Raja Salman di Jeddah, Mei 2015. Dalam pertemuan itu, Raja Salman menegaskan
keinginannya memperkuat kembali hubungan bilateral dengan negara-negara Islam.
“On the top of the list is Indonesia (nomor satu dalam daftar itu adalah
Indonesia),” ucap Raja Salman ketika itu.
Babak baru hubungan bilateral
Melihat
konstelasi politik yang berkembang di kawasan Timteng itu pastilah bukan suatu
kebetulan jika Presiden Joko Widodo memerintahkan Menlu Retno Marsudi melakukan
kunjungan ke Arab Saudi pada Mei 2015, hanya empat bulan sejak Raja Salman naik
takhta. Dalam kunjungan tersebut, Menlu Retno diterima oleh Raja Salman dan
menjadikannya pejabat tinggi perempuan pertama dari negara sahabat yang
diterima langsung oleh Raja Salman.
Kunjungan
Menlu Retno itu disusul dengan kunjungan yang lebih tinggi dengan kunjungan
kenegaraan Presiden Jokowi kepada Raja Salman pada September 2015. Dalam
kunjungan tersebut, Presiden Jokowi menjadi kepala negara pertama yang disambut
langsung Raja Salman di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah. Dalam
kunjungan itu, Presiden Jokowi dianugerahi penghargaan Star of the Order of
King Abdulazis Al-Saud, penghargaan sama yang pernah diberikan Raja Arab Saudi
kepada Presiden Obama sebelumnya.
Kunjungan
yang merupakan babak baru dalam hubungan bilateral ini muncul seperti gayung
bersambut bagi kedua negara. Bagi Indonesia, kunjungan itu sejalan dengan
strategi Presiden Jokowi memperluas pasar perdagangan dan sumber investasi bagi
Indonesia. Kunjungan itu sekaligus membuka jalan bagi Indonesia, sebagaimana
diharapkan umat Islam di Indonesia, agar Indonesia dapat memainkan peran lebih
besar di dunia Islam.
Mengingat
jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi mendekati angka 500.000,
tidak terhindarkan, isu perlindungan TKI di Saudi tetap menjadi salah satu isu
penting dalam peningkatan hubungan bilateral ini. Namun, Presiden Jokowi dan
Menlu Retno jelas ingin membawa hubungan kedua negara ke babak baru “beyond
migrant workers issue“. Hubungan bilateral yang selama ini banyak “tersandera”
oleh isu-isu perlindungan TKI, harus mulai merambah ke isu-isu lebih strategis
seperti isu ekonomi, keamanan internasional, kerja sama pertahanan dan
penguatan OKI.
Bagi
Arab Saudi, tidak terelakkan, kunjungan Presiden Jokowi dan Menlu Retno pada
2015 mengirimkan pesan bahwa Indonesia adalah “friend indeed, friend in need
(sahabat sejati yang hadir saat dibutuhkan)” bagi Arab Saudi. Sebagai respons
atas kunjungan tersebut, jumlah pertukaran kunjungan tingkat tinggi di antara
kedua negara dalam dua tahun terakhir mencapai intensitas tertinggi dalam
beberapa dekade.
Faktor Raja Salman
Indonesia
memiliki tempat khusus di hati Raja Salman. Saat menjadi Gubernur Riyadh selama
48 tahun, beliau selalu hadir dalam resepsi diplomatik dalam rangka HUT RI yang
diselenggarakan oleh KBRI Riyadh. Hal ini selalu membuat negara lain “cemburu”.
Dalam kehidupan dan tata krama diplomatik, kehadiran tingkat tinggi dalam
resepsi diplomatik suatu negara adalah simbol pentingnya negara itu bagi
pemerintah setempat.
Raja
Salman, saat itu masih berstatus pangeran, adalah inisiator pembentukan rumah
sosial khusus wanita di Riyadh untuk menampung dan menyelesaikan berbagai
masalah yang dihadapi tenaga kerja wanita asing. Hal ini membuat penyelesaian
masalah tenaga kerja wanita (TKW) di Riyadh dan sekitarnya jauh lebih mudah
dibandingkan di wilayah Jeddah dan sekitarnya. Pada masa beliau menjadi menteri
pertahanan tahun 2014, untuk kali pertama Indonesia-Arab Saudi menandatangani
perjanjian kerja sama di bidang pertahanan.
Alasan
Raja Salman memiliki perhatian khusus kepada Indonesia ini mendapatkan
jawabannya saat beliau menerima Menlu Retno pada Mei 2015. Beliau memulai
percakapannya dengan kalimat, “Bangsamu adalah bangsa orang-orang baik.” Beliau
menceritakan pengalamanpengalaman pribadi beliau saat masih kecil. Pengalaman-pengalaman
itu berbekas mendalam pada diri beliau.
Sejarah
menunjukkan bahwa jauh sebelum Arab Saudi mengalami oil boom dan menjadikannya
salah satu negara terkaya di dunia, bahkan jauh sebelum negara Arab Saudi
terbentuk, masyarakat Indonesia sudah bermigrasi ke dua Tanah Suci, Mekkah dan
Madinah. Mereka bermukim di kedua Tanah Suci sebagai santri, ulama, dan syeikh
di berbagai madrasah di Tanah Suci. Mereka yang memakmurkan dan merawat kedua
tempat suci saat Arab Saudi belum memiliki kemampuan merawatnya. Setidaknya
tiga ulama Indonesia pernah menjadi imam Masjidil Haram, yaitu Syeikh Junaid
al-Betawi, Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, dan Syeikh Ahmad Khatib
al-Minagkabawi. Bahkan, pendiri dua organisasi Islam terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, belajar ilmu keislaman di Mekkah.
Dengan
gambaran yang demikian, kunjungan fenomenal Raja Salman ke Indonesia bukanlah
suatu kebetulan. Selain karena faktor Raja Salman pribadi, faktor politik
internasional dan kepiawaian Presiden Jokowi memanfaatkan momentum ikut melatarbelakanginya. Masalahnya kemudian,
bagaimana kita bisa memanfaatkan kunjungan ini bagi keuntungan kedua negara.
Keberhasilan
pelaksanaan kunjungan ini, termasuk kesepakatan-kesepakatan yang
ditandatangani, adalah satu hal. Namun, ukuran yang lebih penting bagi
keberhasilan kunjungan ini baru bisa dilihat jika terdapat peningkatan secara
konsisten dalam beberapa tahun ke depan. Seberapa banyak saling kunjungan
tingkat tinggi, seberapa banyak terjadi kenaikan volume perdagangan bilateral,
seberapa banyak investasi Arab Saudi di Indonesia, seberapa banyak kedua negara
bisa mengambil peran bersama di forum OKI, seberapa banyak kedua negara dapat
mengambil inisiatif bersama untuk kebaikan dunia Islam, dan lain-lain.
Momentum
sudah diciptakan. Saatnya semua komponen bangsa di kedua negara mengambil peran
untuk mengisinya. Bukan hanya pemerintah (first tract diplomacy), melainkan
juga masyarakat luas (second track diplomacy). Selamat datang Raja Salman!
Lalu
Muhamad Iqbal Pengamat Isu-isu Strategis; Saat ini Direktur Perlindungan WNI
dan BHI, Kementerian Luar Negeri RI ( Sumber : Harian Kompas, 1 Maret 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar