Kamis, 18 Juni 2009

Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara(I)

Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara(I)


 Pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan negara diselenggarakan secara terpadu dan bertahap sesuai dengan kemampuan negara serta diarahkan untuk mewujudkan pertahanan yang profesional dan modern yang mampu menindak dan menanggulangi setiap ancaman. Pembangunan pertahanan negara sampai saat ini baru menghasilkan postur pertahanan negara dengan kekuatan yang masih terbatas, terutama perimbangan gelar kekuatan TNI dengan kemampuan Pemerintah bila dihadapkan dengan tugas, luas wilayah, jumlah penduduk dan nilai kekayaan Nasional yang harus dijamin keamanannya. Kekuatan personil sebagai salah satu komponen utama TNI, pada saat ini berjumlah 376.375 prajurit yang terdiri dari 288.857 prajurit TNI-AD, 59.189 prajurit TNI-AL dan 28.329 prajurit TNI-AU. Adapun kondisi Alutsista TNI sebagian besar telah berusia tua, yaitu antara 25 sampai sampai dengan 40 tahun. Peralatan tersebut secara kualitas masih jauh dibawah standar dan secara kualitas belum memenuhi kebutuhan table Organisasi dan Peralatan (TOP)/daftar susunan Personil dan perlengkapan (DSPP), meskipun secara terus menerus dipelihara dan diperbaiki agar siap dioperasikan. Komponen cadangan dan pendukung pertahanan negara yang merupakan bentuk implementasi kesemestaan dalam system pertahanan negara, belum dapat dipersiapkan secara fisik mengingat penyusunan RUU Komponen cadangan saat ini sedang dalam proses penyelesaian di Departemen Pertahanan dan diharapkan pada tahun 2006 dapat diajukan ke DPR RI. Sedangkan komponen pendukung masih merupakan kekuatan potensial yang memerlukan pengelolaan lebih lanjut agar pada saatnya nanti pertahanan negara selain mengandalkan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan dapat juga mengandalkan kekuatan dan keampuan komponen pendukung.... 


Sementara itu anggaran Pertahanan sampai dengan tahun 2006 baru mencapai 0,93 % ( persen) dari produk domestic bruto (PDB) atau 4,36 % (persen) dari anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai gambaran pembanding, anggaran Pertahanan Negara di Kawasan Asia Tenggara pada umumnya telah mencapai diatas 2 % (persen) dari PDB. Kondisi ideal anggaran pembangunan Pertahanan Indonesia dalam periode 5 tahun kedepan diharapkan berkisar 3-4 %(persen) dari PDB. Rendahnya anggaran pertahanan menyebabkan upaya peningkatan kemampuan pertahanan menjadi semakin sulit, termasuk program peningkatan profesional dan kesejahteraan prajurit. Untuk itu pembangunan pertahanan Negara diarahkan pada tercapainya kekuatan pokok minimal (minimum essintial force), yaitu tingkat kekuatan yang mampu menjamin kepentingan strategi pertahanan yang mendesak. I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Belum terpenuhinya minimum essential force TNI, menyebabkan tugas-tugas TNI dalam rangka menegakan kedaulatan dan keutuhan NKRI masih terkendala. Kurang memadainya kondisi dan jumlah alat utama system persenjataan (alutsista), sarana dan prasarana, serta masih rendahnya tingkat kesejahteraan anggota TNI merupakan permasalahan yang selalu dihadapi dalam upaya meningkatkan profesionalisme TNI. Peralatan militer yang dimiliki kebanyakan sudah usang dan ketinggalan jaman dengan rata-rata usia lebih dari 20 tahun. Dengan wilayah yang sangat luas baik wilayah daratan, laut maupun udara, maka kondisi kuantitas, kualitas serta kesiapan operasional alutsista yang kurang memadai sangat muskil untuk dapat menjaga integritas dan keutuhan wilayah yurisdiksi secara oftimal, terlebih lagi bila timbul permasalahan lain yang tidak terduga, seperti bencana alam. Keterbatasan dukungan anggaran yang disediakan untuk TNI berdampak pada sulitnya mempertahankan kekuatan dan kemampuan yang ada. dari alokasi anggaran TNI sebesar 54 % diperuntukan bagi belanja pegawai dan sebesar 27 % diperuntukan bagi belanja barang/jasa. Sementara itu untuk kebutuhan pembangunan materiil (belanja Modal) dalam upaya memperpanjang usia pakai alutsista yang ada, porsinya hanya 27 %. Kondisis ini tidak menguntungkan bagi TNI kedepan mengingat prosentasi terbesar alokasi anggaran TNI digunakan untuk belanja rutin (belanja pegawai dan belanja barang/jasa). 
Rendahnya alokasi anggaran rupiah untuk pembangunan materiil dihadapan dengan besarnya anggaran untuk memenuhi kebutuhan dalam pengadaan dan pemeliharaan kesiapan operasional alutsista TNI, menyebabkan pemanfaatan pinjaman luar negeri tidak dapat dihindarkan lagi. Masih rendahnya tingkat kesejahteraan prajurit TNI dapat mempengaruhi tingkat kedisiplinan dalam melaksanakan tugas. Rendahnya tingkat kesejahteraan prajurit TNI merupakan masalah serius karena secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat priofesinalisme dan kedisiplinan. Kecukupan kalori dangizi serta kondisi kesehatan para prajurit sangat penting guna memiliki kemampuan dan keahlian untuk berlatih dan bertempur dengan baik. Disamping itu terpenuhinya kebutuhan dasar hidup keluarga dapat mempengaruhi ketenangan dan konsentrasi dalam melakukan tugas operasi dan latihan. Uang Lauk Pauk (ULP) saat ini hanya cukup untuk 1.700 kalori perhari dari kebutuhan ideal 3.600 kalori perhari. Demikian halnya, besarnya gaji dan asuransi serta tunjangan lainnya, saat ini masih relative masih jauh dari mencukupi apabila dihadapkan pada tugas tugas yang diembannya. Belum terwujudnya kegiatan peneltian dan pengembangan nasional yang terpadu dan nyata dibawah kendali [pemerintah untuk kepentingan kebutuhan alutista. Ketergantungan pada teknologi dan industri militer luar negeri yang rawan embargo merupakan permasalahan yang masih dihadapi dalam rangka kemandirian industri pertahanan dalam negeri. Selama ini sumber pengadaan atau pembelian alutsista TNI sebagian besar hanya berasal dari beberapa Negara sehingga rentan terhadap pembatasan atau embargo yang diterapkan oleh Negara pemasok. Disamping factor kompatibilitas, terbatasnya variasi sumber pengadaan yang juga merupakan akibat dari ketergantungan terhadap bantuan dari beberapa Negara tersebut. Selama ini sulit dihindarkan, Selain kedua factor tersebut mahalnya biaya pnelitian dan pengembangan dalam bidang teknologi militer modernm menyebabkan tingginya biaya produksi yang bermuara pada tidak komfetitif harga jual produk militer dalam negeri. Hal tersebutlah yang menjadi penyebabnya kurangnya minat untuk memilih produksi dalam negeri, terlebih lagi bila jumlah jkebutuhan /permintaan terlalu kecil. 
Dissi lain Joint production antara industri strategis nasional dengan industri pertahanan asing tidak mudah terealisasikan karena adanya persyaratan-persyaratan tertentu yang menynagkut aspek politik, ekonomi dan teknis. Keterbatasan deplomasi militer sebagai bagian dari deplomasi politik Negara untuk kepentingan nasional. Diosamping terkendala oleh terbatasnya alutsists, sarana dan prasarana serta belum mantapnya profesiponal prajurit TNI, system pertahanan Negara juga terkendala oleh minimnya perangkat hokum terutama dalam hal deplomasi militer dengan kekuatan militer asing. Kasus pelanggaran wilayah sebagaimana yang terjadi diwilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar seperti Blok Ambalat , Pulau Gosong, Pulau Bidadari, Pulau Mengkudu, Pulau Sutri dan Pulau Kukusan merupakan dampak dari belum tersedianya perangkat hokum yang memberikan ketegasan garis perbatasan nasional dan simbul kepemilikan. Disamping itu dalam tataran pergaulan internasional sebagai akibat rendahnya kemampuan deplomasi militer disertai dengan rendahnya daya penggentar system pertahanan menyebabkan partisifasi dalam menciptakan keamanaa kawasan, regional, dan internasional kurang dapat diperhitungkan. Hal ini terlihat dari kecilnya peran Indonesia dalam mengatasi krisis persenjataan nuklir Korea Utara.

Tidak ada komentar: