Oleh : Harmen Batubara *)
Freeport , Blok Cepu dan Natuna punya nama, Indonesia pemilik hak yang sah tetapi negeri lain yang menikmati hasilnya. Dalam nuansa yang berbeda, ketika ekonomi Thailand dikelola Thaksin layaknya peruasahaan keluarga, maka para prajurit itupun tak mampu lagi menahan semangat nasionalisme mereka dan kudetapun terjadi. Bahkan tidak hanya sampai disitu, pada ahir desember 2006, nasionalisme Thailand mengindikasikan agar saham asing pada sistem perbankan Thailand dibatasi sampai 30 persen. Akibatnya para investor panik, bursa saham Thailand anjlok. Belum lagi sentimen investor pulih maka, januari 2007 muncul lagi kebiajakan baru, pemerintahan junta militer Thailand membatasi kepemilikan asing pada perusahaan Thailand hanya sampai 50 persen, sekali lagi bursa saham anjlok.
Perubahan radikal yang seperti itu, pasti akan menimbulkan rasa panik dan jelas memerlukan penyesuaian yang tidak mudah. Para investor internasional meskipun sudah siap-siap dari jauh hari, akan tetapi tetap saja terkejut dan tidak suka dengan kebijakan seperti itu. Meskipun belum tentu mereka terinpirasi kemampuan Evo Morales dalam ”menasionalisasikan ladang-ladang minyak ” mereka, akan tetapi membawa semangat patriotisme dan nasionalisme ke kancah bisnis modern yang sesungguhnya, memerlukan pemahaman dan kebijakan yang kepemihakannya perlu kebijaksanaan itu sendiri.
Di Indonesia berbeda nuansanya, rasa nasionalisme tetap tinggi tetapi semangat korupsi, semangat merusak tatanan hukum dan nilai-nilai budaya tak kalah hebatnya dan; negeri ini dikelola bagai dinasti dari Raja-raja zaman baheula, para pejabatnya di ambilkan dari kekuatan riil politik yang mendukungnya. Rakyat boleh sengsara, semua sekolah boleh rubuh dan infrastruktur boleh hancur-hancuran tetapi para pejabatnya tetap punya cara untuk meningkatkan penghasilan mereka; minimal mereka masih bisa pergi entah ke negara mana saja mereka suka, dengan semua atribut yang memungkinkan mereka tetap di hormati, di layani dan semua itu dibiayai secara syah oleh negara. Semangat seperti itu ada di lingkungan Legislatif, Yudikatif dan eksekutif. Hanya rakyatnya saja yang tidak punya pilihan kecuali, demo dan bawa poster keprihatinan kemana-mana. Lalu kini datanglah bulan Mei, bulan yang mengingatkan kita pada semangat kebangkitan bangsa. Tetapi dengan latar belakang setting yang seperti itu, apakah kita masih punya asa untuk mencoba mengusung makna semangat patriotisme, semangat nasionalisme untuk menyongsong Visi 2030. Rasanya, jauh terletak dihati yang paling dalam, upaya seperti itu hanyalah suatu kesia-siaan belaka. Akan tetapi kalau membaca Re-Code nya Rhenald Kasali, kita diingatkan agar meski sejecil apapun, asa harus tetap disiasati agar maknanya tetap lestari.
Bentuk Yang Berbeda.... Bagi penguasa Thailand nasionalisme dalam bisnis sejatinya bukanlah inti dari permasalahan yang sesungguhnya, tetapi lebih pada strategi pencitraaan yang mencoba mengemas masalah pengalihan kekuasaan persi militer ” baca, kudeta” dengan mencoba memainkan sentimen nasionalisme di dalamnya. Hal seperti inilah sejatinya yang juga sangat kita khawatirkan bisa menemukan bentuk yang tepat di tengah keterpurukan perekonomian bangsa, terutama setelah munculnya demo Harriman Siregas cs dengan thema ’ mencabut mandat’ dan gossip munculnya kembali jargon dewan revolusi dan issu-issu sejenis. Sejatinya, mungkin nggak sih di Indonesia muncul ’kudeta’ dari pihak aparat bersenjata ? Untuk kudeta, dipercaya hal seperti itu tidak bakalan ada; TNI tidak punya tradisi semacam itu, tapi kalau bentuknya beda serta dikemas dalam wujut yang lebih sopan maka jawabnya ya; karena untuk berbagai eufemisme dalam segala bentuknya, para intelektual Indonesia dan seluruh jajarannya adalah gudangnya; mereka dengan mudah memakai aparat dan bahkan kekuatan TNI sekalipun dengan tanpa beban, dan judulnya pasti rakyat yang memberi mandat kepada TNI, bukan sebaliknya. Tapi selama SBY-Kalla ada disana, sepertinya upaya itu tak bakalan ada.
Dalam konstek semacam ini, kita harus berkaca pada sejarah, bahwa banyak negara yang sejatinya tadinya sudah berkembang dan maju secara meyakinkan, tetapi ketiga para intelektual dan para pemegang otoritas kekuasaan lalai dan mencoba lebih mengutamakan golongannya, maka tidak dinyana negeri itupun terpuruk pada persoalan sosial sepele yang merupakan pemanfaatan sentimen perpaduan Sara dan masalah keadilan ekonomi. Sebutlah Filipina, sebuah negara dengan prospek yang sangat menjanjikan kemakmuran di era tahun-tahun 70 an, kemudian terpuruk dan terjerembab karena masalah keadilan yang digadaikan serta korupsi yang meraja lela dan itulah celah yang dipakai oleh setiap pendekar bangsanya untuk tampil ke permukaan bagi kepentingan mereka dan golongannya, tetapi dengan merusak rasa kebersamaan nasional dan itulah pula yang dialami oleh Sri Langka, yang sebenarnya juga merupakan negeri dengan ekeonomi terkaya dikawasan pada tahun-tahun 60 an dan hal seperti itu juga terjadi bagi negeri seperti Argentina di belahan dunia lainnya, dan sejatinya hal seperti itulah yang tidak pernah lepas dari Indonesia yang dikemas dalam bentuk DII/TII, Permesta, OPM Papua, Gam Aceh dan Poso dll.
Dan jangan lupa, Indonesia juga adalah negeri dengan segala pujian atas berbagai keberhasilan pada tahun-tahun 80an, bahkan dikatagorikan sebagai salah satu macan Asia, tetapi ternyata kemudian terjebak pada lingkaran tanpa ujung, ketika rezim orde baru tumbang; para intelektual dan pemegang otoritas kekuasaan bangsa justeru memperlihatkan kembali semangat sekretarian, yang mampu memanfaatkan apa saja asal golongannya bisa tampil ke permukaan; beruntung negara ini masih mampu menghadirkan tatanan dan perangkat demokrasi yang untuk sementara mampu menahan keinginan semua golongan dapat mengikatkan komitmen diri dan golongan untuk tetap menjungjung semangat demokrasi yang ada; meski demokrasinya sendiri belum punya wujut nyata. Tetapi persoalannya ternyata tidak cukup hanya sebatas membenahi keterpurukan yang pernah ada, tetapi justeru berbagai bencana, bencana alam dan bencana akibat salah urus juga datang secara bersamaan dan persoalan itulah yang pada saat ini menjadi tantangan bagi kepemimpinan yang ada; mampukah mereka membenahinya. Masalahnya adalah, masih adakah semangat kebersamaan meski dalam kondisi keterpurukan. Agaknya inilah yang menjadi inti di saat kita memperingati Kebangkitan Nasional tahun ini.
Melihat kebangkitan nasional dari kondisi riil masyarakat kita pada saat ini, sesungguhnya hampir tak punya arti; pada dasarnya kita mencoba memanfaatkan peringatan kebangkitan nasional ini dengan taraf kesejahteraan rakyat. Kalau kita cermati, semangat kebangkitan nasional ini sejatinya adalah upaya dialogis yang dilakukan anak bangsa untuk memperoleh kemerdekaannnya. Padahal salah satu amanat kemerdekaan itu ada pada UUD 1945, yang mengamanatkan demi kesejahteraan bangsa. Padahal justeru pada kesejahteraan bangsa itulah, kita jadi tidak punya harapan untuk menggapainya; khususnya ketika kita mau mengamati apa sesungguhnya yang terjadi pada era-era sebelumnya dalam hal perekonomian dan pertahanan bangsa. Gaya boleh beda, tetapi tiba pada hasilnya ya sebenarnya sama saja. Usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujutkan kesejahteraan anak bangsa itu hanya ada dalam retorika belaka. Salah satu bukti konkritnya yang bisa kita amati adalah “resufle kabinet” yang baru saja berlalu; intinya tokh hanya satu yakni bagaimana mengamankan kolaborasi bersama menghadapi pemilu tahun 2009, sukur kalau dengan cara seperti itu ekonomi anak bangsa bisa jadi lebih baik. Yang jelas, semangat “ iyokan nan di urang lalukan nan di awak” dan semangat pencitraan seperti yang ditengarai oleh Ibu Mega, sangat kental sekali.
Semoga Masih Punya Nurani
Dari segi ekonomi misalnya, ketika krisis tahun 1998 sembilan tahun yang lalu, kondisinya memang berbeda. Pemerintah dengan target untuk ekonomi pertumbuhan tinggi. Arus modal jangka pendek yang amat besar dipersilahkan masuk; kredit bank (di obral) yang didominasi untuk pembangunan infrastruktur berjangka panjang, proverti dan jalan tol, nilai tukar rupiah yang di patok pada harga tetap yang terlalu tinggi; dan ditambah buruknya tata kelola perusahaan. Pertumbuhan tinggi ini sayangnya hanya ditopang oleh ekonomi ” besar pasak dari tiang” yang bertumpu atas tiga pilar defisit yang ditutup dengan cara ngutang selama tiga dasa warsa; defisit pertama (investasi lebih besar dari tabungan domestik); defisit anggaran APBN (pengeluaran pemerintah lebih besar dari penerimaan pemerintah); dan defisit ”current account”( impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor barang dan jasa). Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Depkeu memperkirakan modal asing yang masuk Indonesia hingga April 2007 sekitar 10 triliun rupiah.
Sekarang jumlah tabungan domestik luar biasa, jumlah SBI makin membengkak, per Maret 2007 sudah mencapai 263 triliun rupiah atau hanya terpaut beda sedikit dengan jumlah uang kartal yang beredar di pasar (272 triliun rupiah). Yang terjadi adalah uang hanya berputar-putar di sistem keuangan. Dana pemerintah pusat yang diberikan ke Pemerintah Daerah ternyata malah banyak pula yang ditanamkan kembali jadi SBI. Sehingga dana yang tadinya bisa diharapkan akan mampu menggerakkan sektor riil dan membuka lapangan kerja, malah jadi beku dan harus dibayarkan pula bunganya. Ekses likuiditas ini akan semakin besar karena pembiakan dana oleh sistem keuangan lebih cepat dari yang bisa diserap oleh sektor riil.
Masalahnya jika ekses likuiditas ini tidak bisa di serap oleh BI, ia akan berpotensi menurunkan nilai rupiah secara drastis. Dan juga yang membuat perbedaan adalah kinerja ekspor mencatat rekor nyaris mencapai 100 US miliar; jadi pada saat ini yang masih defisit sebenarnya tinggal dalam pembiayaan APBN. Jadi dahulu hutang besar, uang tabungan tidak punya; sekarang hutang tetap besar tetapi tabungan domestik juga besar; yang masih sama adalah sektor riil yang tidak bergerak. Dahulu para pengusaha ngutang, 25 % nya buat usaha sisanya dikorup dan usahanya dinyatakan bankrut; pengusahanya happy, tak ada lapangan kerja, selesai. Sekarang, dana banyak tapi tak ada pengusaha yang pinjam untuk buka usaha, tak ada lapangan kerja, pemerintah bayar bunga, selesai. Tapi yang menjadi tanda tanya, kenapa pemerintah sepertinya tak pernah sadar bahwa tidak bergeraknya sektor riil dari dahulu, masalahnya dari itu kesitu juga; yang menonjol, adalah lemahnya pembangunan infrastruktur, tidak jelasnya kepastian hukum, ekonomi biaya tinggi, birokrasi yang lamban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar