Rabu, 27 Mei 2009

BENANG RAJA, OPM, DAN SEMANGAT HELSINGKI



BENANG RAJA, OPM, DAN SEMANGAT HELSINGKI 
 Oleh : Harmen Batubara *) 

 Belajar dari gerakan separatisme di tanah air, kata kuncinya adalah kelemahan mencari solusi dalam bentuk rekayasa politik guna menampung keinginan riil yang ada, dan mempormulasikannya dalam bentuk UU, PP ataupun bentuk-bentuk lain yang sesuai dengan tatanan hukum. Perhatikan misalnya kelahiran RMS, yang diawali dengan kegiatan pemilu untuk mengisi tujuh kursi Dewan Maluku Selatan, yang diseponsori NICA pada awal November 1946. Pemenangnya adalah Partai Indonesia Merdeka (PIM), kelompok yang kecewa lalu membentuk Gabungan Sembilan Serangkai, GSS); dan pada tanggal 25 April 1950, GSS, memproklamasikan RMS. oleh CHR Soumokil,Ir.JA Manusama, Wairisal,Garpers dan JH Manuhutu; wilayahnya meliputi P.Ambon, P.Seram dan sekitarnya. GAM di Aceh, PRRI/Permesta dan OPM juga sama saja, pada awalnya mereka berjuang dengan semangat dan raga yang ada, tetapi begitu di ujung, dan setelah perjuangan berhasil, penghargaan yang ada itu dinilai sama sekali tak setimpal; kemampuan politik dalam mengakomodasi keinginan berbagai pihak dinilai jauh dari memadai. Tetapi the show must go on dan republik harus terus berdiri, sementara yang mampu muncul dipentas nasional adalah para pembonceng gelap dengan semua intrik, kkn dan penomena ikutannya. Keadaan sepertinya tak mampu lagi untuk menunggu, apalagi menberi toleransi; perbedaan yang semula “begitu” mudah untuk diakomodasi, menjadi mengeras dan patah arang; pilihannya hanya ada satu menyerah atau ditumpas. Para sesama pejuang pergerakan yang dulu saling bahu membahu itupun, baku bunuh dan saling menghancurkan. Ironisnya, dan terlebih lagi didesak oleh kepentingan demi “supremasi” hukum, maka justeru yang terjadi adalah sebaliknya; tenaga andalan dan kepercayaan pemerintah “pusat” itu, justeru tidak jarang adalah mereka yang sepenuhnya tak menguasai permasalahan, sudah tidak professional ditambah lagi juga sangat korup. ... Ujung-ujungnya, andalan pemerintah pusat justeru adalah aparat yang korup dan jauh dari professional. Cilaka lagi, dan untuk memastikan bahwa “mereka” harus tetap dibutuhkan; maka aparat kepercayaan pusat ini justeru tidak jarang merekayasa situasi, intinya bahwa “gerakan separatisme” itu memang real, dan sangat membahayakan NKRI. Untuk memperoleh efek dramatis, mereka sanggup mengorbankan siapa saja; termasuk menyandera atau membunuh rakyat yang tak tahu persoalan sesungguhnya. Langkah Politis Salah satu indikator terhadap sinyalemen diatas, terungkap dari Septer Manufandu, dari Forum Kerja Lembaga Swadaya Masyarakat Papua, penanganan sejumlah gejolak yang muncul belakangan ini di Papua tidak akan dapat diselesaikan kalau hanya mengandalkan pendekatan keamanan atau dengan memberikan uang sebanyak- banyaknya ke daerah terebut. Menurutnya justeru pemerintah akan berhasil kalau mampu mengontrol penggunaan dana serta semakin melibatkan masyarakat setempat dalam pembangunan di wilayahnya, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya. Menurutnya selama ini, warga masyarakat Papua belum merasakan manfaat dari adanya Otonomi khusus, karena selama ini meskipun banyak dana yang telah disalurkan ke daerah ini, tetapi belum bisa dirasakan oleh masyarakat secara merata dan adil. Perkembangan mendasar dalam pemecahan separatisme ini, sebenarnya bila dilihat secara jernih tidaklah rumit, tetapi ia membutuhkan pemikiran kebangsaan berbasis kearifan lokal. Salah satunya, adalah dengan apa yang saat ini tengah tumbuh di Nangru Aceh Darussalam, yakni dari pendeklarasian Partai Gam bersimbol bulan sabit putih dengan latarbelakang merah, pada tanggal 7 juli 2007. Kalau kita melihat dari kacamata kajian demokrasi yang ada dan lazim, maka yang terlihat adalah sebagaimana yang diutarakan oleh Arbi Sanit, dan menyatakan, pembentukan parpol adalah hak individu sebagai perwujutan demokrasi, namun bila menggunakan nama dan simbol separatisme, bukan demokrasi menyeluruh; itu demokrasi untuk orang aceh saja. Tetapi kalau ini dilihat dari ke arifan lokal dan semangat separatisme yang ada di Indonesia selama ini, maka sesungguhnya yang mereka kehendaki itu adalah adanya “ aparat pemerintahan lokal “ yang sepenuhnya mereka percayai dan mau memperjuangkan nasib rakyat lokal yang justeru selama ini paling termarjinalkan oleh adanya konfrontasi bersenjata. Mereka mau membangun wilayahnya dulu sampai pada batasan tertentu, dan nanti kalau semuanya sudah berjalan dengan baik dan sesuai dengan cita-cita semula, maka barulah dilakukan semangat pembangunan yang berbalut nasionalisme maupun internasionalisme. Berkaca dengan semangat otonomi daerah sesuai UU Nomor 32 tahun 2004, sesungguhnya yang muncul saat ini adalah kegamangan di semua lini, Pemda yang tadinya begitu menggebu-gebu dengan upaya untuk memajukan daerahnya, lalu digoda oleh adanya alam reformasi yang seolah memberikan kebebasan apa saja, apalagi bila dihadapkan dengan lemahnya aturan dan birokrasi pemerintah pusat. Bayangkan dengan pemekaran daerah maka akan tersedia jabatan begitu banyak, kenaikan golongan bisa dipacu dalam setahun bisa dua atau tiga kali naik pangkat sehingga memungkinkan menduduki jabatan tertentu, dan pemerintahan induk, wajib hukumnya mendanai pemda baru ini sebesar 5 - 10 milyar, selama dua tahun. Ujung-ujungnya adalah banyaknya para kepala pemerintah daerah yang jadi tersangka Koruptor. Bagi seorang pejuang sejati ( yang sampai hati, memilih jalan separatisme) untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya, tentu akan prustrasi. Mereka sulit menggantungkan nasib “rakyat” dalam mekanisme pemerintahan seperti itu. Bayangkan, betapa besarnya dana yang dikorup para pejabatnya saat Aceh dalam keadaan darurat. Bisakah, pejuang sejati, mempercayakan nasib rakyatnya dalam mekanisme seperti itu? Semangat Helsingki Semangat untuk melahirkan sebuah pemerintahan lokal yang kuat adalah bagian dari semangat Helsingki, masalah ini menyangkut hadirnya partai lokal, dan sudah dikomunikasikan pada perundingan RI-GAM putaran-3 (12-16 April 2005). Tiga kata kunci yang diusulkan oleh GAM adalah, pemerintahan sendiri, demokrasi lokal dan partai lokal. Pihak Indonesia menawarkan otonomi khusus; dan menolak konsep partai lokal,dan pelaksanaan pemilu legislatif lokal dan nasional dalam satu paket. Pada putaran ke-4 dan 5, Mei dan Juli 2005, terjadi kompromi politik. Pihak GAM menerima otonomi khusus dan Indonesia, menerima konsep partai lokal, dan kesepakatan itu sudah masuk MOU Helsinki bagian partisipasi politik butir 2.1.1. Sebagai konsekwensinya DPRD Legislatif hasil pemilu 2004 Dalam MOU butir 1.2.4. dinyatakan, ”sampai dengan tahun 2009 legislatif (DPRD) Aceh tidak berkewenangan untuk mengesahkan peraturan perundang undangan apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh. Dan Pada Bagian I Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh Butir 1.1.5 ” Aceh memiliki hak menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne”. Ketika para pejuang saparatisme itu memilih jalannya lima puluh tahun yang lalu, salah satu yang mereka pikirkan adalah sulitnya mensejahterakan masyarakatnya bila harus melalui mekanisme yang ada. Tetapi pemerintah pusat melihatnya sebagai pejuang yang gila “jabatan”, padahal apa yang kita lihat di lapangan sampai saat ini justeru semangat perjuangan yang di usung oleh para pejuang separatisme itu justeru adalah sesuatu yang berdasar pada ke arifan lokal. Apa yang terjadi di Aceh, Papua, dan juga Ambon adalah sebuah pembelajaran yang sangat berharga, dan perlu dilihat secara kritis di setiap era nya zaman. Sama dengan ketidak setujuan Bung Karno atas Federalisme Malaysia di tahun 60an, dan berupaya dengan mati-matian untuk menutup jalan Federalisme di Semananjung Malaka, bahkan hingga munculnya semangat “ganyang Malaysia”, ternyata kini jalan itu justeru cocok bagi mereka; meskipun untuk itu mereka kehilangan Singapura. Kita mau NKRI tetap utuh, dan bagi kita itu sudah harga mati, tetapi kita masih memberi celah untuk berbeda serta menyebutnya dengan Otonomi Khusus dan itu bisa diterima GAM. Semua itu untuk memungkinkan berdirinya partai lokal, pemerintahan lokal dan demokrasi lokal. Kenapa kita tak mampu membuka kreatifitas baru dan sejenis, bagi OPM dan RMS; yang nota bene dan juga adalah saudara kita juga.

Tidak ada komentar: