Oleh harmen Batubara
Perselisihan batas daerah telah menjadi
persoalan besar dan menjadi salah satu keprihatinan Nasional. Rangkaian konflik
ini telah banyak menghabiskan waktu, dana dan peluang untuk pembangunan daerah
ke arah yang lebih baik lagi. Sebagai contoh perselisihan batas antara
Kabupaten Musirawas dengan Musi Banyuasin yang dipicu oleh rebutan SDA di Sumur
Gas Subhan 4; begitu juga antara Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Kediri dalam
hal memperebutkan kawah Gunung Kelud; sengketa batas wilayah antara Provinsi
Jambi dengan Provinsi Kepulauan Riau terkait kepemilikan Pulau Berhala; rebutan
pulau Lari-larian antara Sulawesi Barat dengan Kota Banjarmasin dan masih
banyak lainnya. Untuk memastikan kepemilikan batas
mereka memperjuang kannya hingga ke Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi tapi
tetap saja kepemilikan batas tidak jelas. Demikian pula dengan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
pasal 198 yang mengamanatkan "Kalau ada sengketa wilayah, Mendagri
memiliki wewenang memutuskan dan keputusan itu bersifat final dan
mengikat". Tetapi ternyata juga tidak mempan. Lalu harus bagaimana
lagi? Satu hal yang banyak para pihak
lupa bahwa langkah terbaik adalah cara musyawarah untuk mufakat dalam semangat
dan bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dengarkan lawan yang
berselisih paham apa maunya, dan temukan jalan komprominya, dan kalau sudah
sepakat kemudian buat kesepakatan baru, dan kemudian adendum UU batas
daerahnya. Selesai, sungguh sangat sederhana. Tapi itulah masalahnya, para
pihak hanya senang meluapkan emosinya dan mau menang sendiri. Itulah
persoalannya.
Lengkapnya Lihat Disini
Sejak era otonomi daerah (Otda) tahun
1999, jumlah daerah otonom telah bertambah sebanyak 205 buah, yakni 7 provinsi,
164 Kabupaten dan 34 kota (Kemendagri, 2010). Saat ini batas antar daerah yang
ada berjumlah 966 segmen dan baru 15% yang telah selesai ditegaskan melalui
Permendagri, selebihnya (85%) masih belum dapat ditegaskan di lapangan dengan
bebagai alasan (Subowo,2013). Dari fenomena konflik batas wilayah yang demikian
akut dan menyebar hampir di setiap provinsi, Adakah Solusi Yang Tepat Dan Cepat
Dalam Penyelesaian Perselisihan Batas Ini? Semua ini bermula dari Undang-undang
Pembentukan Daerah (UUPD) yang tidak dilengkapi dengan Lampiran peta batas
wilayah yang benar dan sesuai dengan kaidah perpetaan. Pada umumnya tidak diikuti dengan
pendefinisian titik dan garis batas yang tegas di dalam peta lampiran UUPD.
Peta lampiran UUPD adalah peta yang bersifat legal, artinya apa yang
digambarkan pada peta tersebut memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat.
Oleh sebab itu pembuatan peta lampiran UUPD seharusnya dilakukan secara cermat
dan benar sesuai kaidah kartografis yang baku. Kesalahan dan tidak akuratnya peta
garis batas wilayah inilah yang menimbulkan sengketa posisional antar daerah
yang berbatasan (Adler,1995).
Tetapi
semua ini terjadi bukan dengan sengaja, pada era sebelum otonomi daerah luas,
anggapan yang ada sebelumnya, batas hanyalah sekedar tanda. Karena itu Peta
yang mereka buat pada masa itu sebenarnya maksudnya juga hanya sekedar petunjuk
lokasi wilayah. Bahwa wilayah Provinsi, Kabupaten atau Kota yang dibentuk itu
adanya diantara wilayah lainnya, atau sekedar pembeda antara Kabupaten A dan
Kabupaten B, tidak lebih. Tapi zaman berubah, era reformasi adalah era
Undang-undang. Semua pihak merujuk kepada UU. Peta yang tadinya hanya dibuat
seadanya, tanpa ada skala, tanpa arah utara yang jelas? Tiba-tiba berubah
menjadi sangat tinggi nilainya.Peta
lampiran pada UUPDOB mendadak berubah
nilai dan merupakan petunjuk sakral yang akan dijadikan peta batas, peta
penentuan luas wilayah, peta yang jadi pedoman untuk DAU. Jelas sekali,
hasilnya runyam-runyam dan runyam. Peta yang tadinya dibuat oleh petugas administrasi
biasa, yang bisa jadi tidak paham akan arti sebuah peta, kini jadi bahan kajian para ahli perpetaan
ternama. Ya sampai kiamat tidak akan ditemukan penyelesaiannya. Itulah yang
terjadi, masalah inilah salah satu yang jadi pemicu bagaimana batas jadi sangat
bermasalah.
Permasalahan
yang ditemukan, banyak peta batas wilayah pada UUPD yang tidak memenuhi syarat
teknis kartografis bila digunakan sebagai dasar dalam penegasan batas daerah.
Persyaratan teknis tersebut meliputi : adanya skala, datum geodetik, sistem
koordinat dan sistem proyeksi peta. Penelitian
yang telah dilakukan terhadap peta batas wilayah pada UUPD periode
1990-2003, 68 % tidak mencantumkan skala. Tidak adanya skala maka peta batas wilayah tersebut tidak
dapat digunakan untuk analisis spasial seperti mengukur panjang segmen batas
atau luas wilayah.Hal
lain yang juga cukup menarik untuk dicermati adalah pedoman yang jadi dasar
pelaksanaan penegasan batas itu sendiri. Selama ini yang dijadikan solusi
adalah dengan mempedomani Permendagri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan
Batas Daerah, yakni penegasan batas yang dititik beratkan pada upaya mewujudkan
batas daerah yang jelas dan pasti di lapangan, yakni dengan melakukan
pengecekan dan pengukuran langsung di lapangan. Metode ini ternyata memerlukan
dana yang besar dan waktu yang lama. Oleh sebab itu Permendagri Nomor 1 Tahun
2006 dinilai tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kurang mendukung dalam proses
percepatan penegasan batas daerah, sehingga kemudian pada bulan Desember 2012
Menteri Dalam Negeri mengeluarkan kebijakan mengganti Permendari No.1 tahun
2006 dengan Permendagri yang baru yaitu Permendagri No.76 tahun 2012.
Salah
satu perubahan yang mendasar dan innovative pada Permendagri No.76 tahun 2012
adalah bahwa penegasan batas daerah untuk penentuan koordinat titik-titik batas
tidak harus selalu dilakukan dengan metode survei di lapangan, namun dapat
ditentukan secara KARTOMETRIK di atas PETA DASAR serta citra satelit yang
dioleh jadi peta tiga dimensi. Metode kartometrik ini adalah pemanfaatan
teknologi survei dan pemetaan masa kini, yang dapat menghadirkan Kondisi real
di lapangan ke ruang rapat. Dengan
metode Kartometrik ini jelas dapat
mengurangi kegiatan survei di lapangan yang biasanya memerlukan dana yang besar
dan waktu yang relatif lama terutama pada kondisi medan yang sulit dijangkau
karena hambatan alam
itu sendiri, menjadikan pekerjaan penegasan batas secara teknis dapat dilakukan
dalam waktu yang jauh lebih singkat tanpa mengurangi akurasi yang dibutuhkan.
Dengan peta RBI yang dipadukan dengan data Quickbird misalnya, kita dapat
melihat batas itu secara tiga dimensi dengan ketelitian sampai 2.5 meter. Boleh
dikatakan secara teknis penegasan batas jadi mudah dan menyenangkan.
Konflik Batas Konflik Cari DAU
Saya
sudah lama terlibat penegasan batas, baik sebagai teknisi maupun pembuat konsep
kebijakan. Sejak tahun 1984 saya sudah ikut terlibat dalam penegasan batas,
baik batas antar negara maupun batas antar daerah. Pengalaman itu juga membawa
penulis ke berbagai negara dan daerah, khususnya melihat bagaimana konflik atau
perselisihan batas itu begitu kuat melekat pada semangat warga untuk
mempertahankannya, mereka tidak punya rasa takut sama sekali. Sepertinya hanya
ada satu penyelesaian konflik batas, bertarung sampai mati. Belum pernah saya
melihat ada masalah batas yang dibicarakan dengan secara baik-baik. Kalaupun
ada maka itu hanyalah sekedar sandiwara, di hati mereka tidak pernah ada kata
untuk memberi.Sebut
saja konflik batas, maka yang ada adalah semangat permusuhan, misalnya yang ada
antara Thailand-Kamboja; antara China-India; antara Mexico-Amerika; antara
Indonesia-Malaysia; antara china dengan Vietnam, Malaysia, Taiwan, Brunai
Darussalam, Filipina di Laut China Selatan; antara China-Jepang;antara Korea Utara-Korea
Selatan;antara Korea Selatan-Jepang dll., semua itu penuh intrik dan tipu daya.
Tidak ada suasana damai, yang ada hanyalah ke hati-hatian, saling curiga dan
ketidak percayaan.
Dengan
teman perunding dari Malaysia di sela-sela rapat kita sering bicara hati-ke
hati agar para pihak mau melihat sedikit saja ke belakang untuk sekedar melihat
posisi lain dari posisi yang telah digariskan. Biasanya kita bilang bahwa
Indonesia itu mempunyai tradisi harga mati untuk batasnya, karena Indonesia
memperoleh kemerdekaannya dengan taruhan dan korban atas jutaan jiwa/nyawa;
berbeda dengan Malaysia yang tidak pernah meneteskan darah untuk memperolehnya,
sehingga tolonglah bisa memahami? Tapi biasanya teman Malaysia itu dengan
santai lalu bilang, Indonesia kan luas wilayahnya, kenapa hanya areal sekian
hektar kok jadi dipermasalahkan? Sedikit bertolak angsur lah? Begitu selalu
mereka menyebutnya. Tahu
nggak, perbatasan antara Indonesia-Malaysia di pulau Kalimantan sepanjang 2004
km lebih itu masih ada 10 OBP (Outstanding Boundary Problems) yang kedua negara
belum sepakat di sepuluh titik tersebut. Padahal kedua negara itu sudah
melakukan pengukurannya sejak tahun 1975-2000; cara pengukurannya sudah sesuai
prosedur yang dibuat bersama, sudah diukur bersama-sama-dalam artian yang
sesungguhnya. Misalnya saat mengambil data jarak dan sudut, kedua negara
memakai alat yang sama diukur oleh tim bersama.
Caranya
juru ukur Indonesia mendirikan atau setting alat, kemudian membaca data dengan
suara keras sehingga tim mendengarkan, kedua pihak sama-sama mencatat hasilnya,
kemudian membubuhkan tanda tangan pada buku ukur partnernya masing-masing.
Artinya juru ukur Indonesia melihat buku ukur Malaysia dan kalau angkanya sama
lalu membubuhkan tanda tangannya. Begitu juga sebaliknya. Saat
penghitungan data juga sama, rumusnya sama datanya sama, hasilnya di “cross
chek” kalau hasilnya sama lalu dibubuhkan tanda tangan. Menggambar juga sama,
metoda sama, alat sama dan hasilnya juga sama. Kalau hasilnya sama lalu
membubuhkan tanda tangan. Begitu seterusnya, sampai selesai. Tetapi begitu
selesai, tokh pihak Malaysia juga masih tidak setuju dan sampai saat ini masih
juga belum selesai. Itu berarti selama 38 tahun belum juga selesai. Tapi secara
nyata malah menghasilkan sumber konflik batas. Konflik
batas antar kabupaten/Kota atau antar provinsi, juga tidak kalah serunya.
Secara logika mestinya tidak ada masalah, karena batas tersebut bukanlah batas
kedaulatan, tetapi semata-mata hanya batas administrasi wilayah yang perlu
dikukuhkan demi pelayanan masyarakat yang lebih baik. Tapi nyatanya apa?
Pada
tahun 2012, terdapat 365 segmen batas daerah yang dalam proses penegasan
dilapangan, dari jumlah tersebut terdapat 74 segmen yang telah dilaporkan dalam
status bersengketa (Kemendagri, 2012). Sejak era otonomi daerah (Otda) tahun
1999, dengan berbagai alasan telah terjadi “big bang decentralization” di Indonesia
(Hofman & Kaiser, 2002), sehingga dalam waktu 10 tahun jumlah daerah
otonom bertambah sebanyak 205 buah, yakni 7 provinsi, 164 Kabupaten dan 34 kota (Kemendagri, 2010). Sekarang sudah ada
34 Provinsi ; 98 Kota dan 410 Kabupaten. Semangat pemekaran daerah
otonom dengan semua aspirasinya sulit dibendung sampai akhirnya Presiden SBY
pada tanggal 3 September 2009 memberlakukan kebijakan morotarium pemekaran
daerah. Pemekaran daerah berarti menambah segmen batas wilayah. Saat ini batas
antar daerah yang ada berjumlah 966 segmen dan baru 15% atau 148 segmen yang
telah ditegaskan melalui Permendagri, selebihnya (85%) masih belum ditegaskan dilapangan
dengan bebagai alasan (Subowo,2012). Merujuk
pada teori Boundary Making Jones (1945), penetapan batas wilayah pada
Undang-undang Pembentukan Daerah (UUPD)
merupakan tahapan Delimitasi (Sutisna,2007). Delimitasi merupakan proses
dua tahap yaitu ”memilih” letak suatu garis batas dan mendefinisikannya,
didalam peta. Didalam UUPD secara jelas telah dilakukan tahap memilih dengan
dicantumkannya ayat-ayat yang menentukan cakupan wilayah dengan batas batasnya
ditunjukan dengan penunjukan batas di sebelah utara, timur, selatan dan barat.
Namun
pilihan yang telah dilakukan pada umumnya tidak diikuti dengan pendefinisian
titik dan garis batas yang tegas di dalam peta lampiran UUPD. Kenapa hal ini
terjadi? Setelah reformasi, peta lampiran UUPD adalah peta itu bersifat legal,
artinya apa yang digambarkan pada peta tersebut memiliki kekuatan hukum yang
bersifat mengikat. Padahal sebelum era reformasi masalah batas tidak pernah
jadi persoalan, peta pada lampiran batas tersebut hanya sekedar pembeda antara
daerah yang satu dengan daerah tetangganya. Tapi
kini jadi masalah, sebab dalam era reformasi ini pembuatan peta lampiran UUPD
seharusnya harus dilakukan secara cermat dan benar sesuai kaidah kartografis
yang baku karena hal seperti itu memang diamanatkan oleh undang-undang.
Kesalahan dan tidak akuratnya gambar garis batas wilayah di peta berpotensi
menimbulkan sengketa posisional antar daerah yang berbatasan (Adler,1995).
Peranan yang sangat penting dari peta lampiran batas wilayah yang ada didalam
UUPD adalah sebagai acuan atau pedoman melakukan penegasan batas wilayah
dilapangan.
Sebagai
konsekwensinya, permasalahan yang ditemukan saat ini, banyak peta batas wilayah
pada UUPD yang tidak memenuhi syarat teknis kartografis bila digunakan sebagai
dasar dalam penegasan batas daerah. Persyaratan teknis tersebut meliputi :
adanya skala, datum geodetik, sistem koordinat dan sistem proyeksi peta.
Penelitian yang telah dilakukan terhadap peta batas wilayah pada UUPD periode
1990-2003, 68 % tidak mencantumkan skala (Soemaryo dkk, 2013). Tidak
adanya skala maka peta batas wilayah
tersebut tidak dapat digunakan untuk analisis spasial seperti mengukur panjang
segmen batas atau luas wilayah. Masalah
konflik batas antar daerah nuansanya lain lagi. Forum untuk itu biasanya difasilitasi
oleh Pusat dalam hal ini Kemdagri. Pada acara pembukaan para petinggi dari
masing-masing pihak hadir, dan memberikan sambutan yang sungguh melegakan.
Kenapa ? Karena para pihak sebenarnya tahu persis makna penegasan batas ini.
Yakni penegasan administrasi perbatasan. Dalam sambutannya, mereka sama-sama
memperlihatkan komitmen yang kuat dan cinta akan NKRI. Bagi mereka batas itu
tidak jadi masalah, dimanapun letaknya, yang penting sesuai dengan UU dan
tradisi yang sudah ada serta kedua belah atau para pihak menyepakati. Pendek
kata siapapun yang mendengarkan sambutan para pihak itu pasti punya keyakinan
masalah batas akan cepat dapat diselesaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar