Senin, 12 Agustus 2013

Kawasan Perbatasan, Melihat Konflik Laut Cina Selatan Sebagai Konflik Bilateral Biasa | KawasanPerbatasan.com

Kawasan Perbatasan, Melihat Konflik Laut Cina Selatan Sebagai Konflik Bilateral Biasa | KawasanPerbatasan.com

Saya tertarik membaca kembali pernyataanProf. Ralf Emmers dari S. Rajaratnam School of International Studies Singapura- ASEAN dihimbau untuk tidak terlalu turut campur dalam menyelesaikan masalah sengketa di Laut China Selatan. Sebab jika bantuan yang diberikan ASEAN ternyata tidak dikehendaki oleh China, dampaknya akan buruk bagi hubungan negara-kawasan. “Isu Laut China Selatan ini menarik banyak perhatian karena China adalah negara besar, terutama bagi wilayah Asia. Sebagai negara besar, China dapat mengatasi isu ini dengan sumber daya mereka sendiri,” urai Prof. Ralf Emmers dari S. Rajaratnam School of International Studies Singapura, lewat video conference di Jakarta, Selasa 10 Juli 2012.
Emmers menambahkan, bentuk bantuan yang diberikan ASEAN hendaknya terbatas hanya pada kesepakatan Code of Conduct (CoC) yang diadopsi di Kamboja satu dekade lalu. Hal ini sebelumnya juga pernah disampaikan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hong Lei, kepada VIVAnews  awal Juli 2012. Dia mengatakan bahwa sengketa Laut China Selatan antara China dan empat negara adalah masalah bilateral, tidak ada urusannya dengan ASEAN. “Kami tak akan membiarkan ada pihak ketiga yang ikut campur dalam mengatasi masalah ini. Ini masalah bilateral antara China dengan negara-negara lain, bukan China dengan ASEAN,” kata Hong Lei kala itu.(webpelangi on 11 Juli 2012)

Fakta Klaim Para Pihak Atas LCS

Kepulauan Spratly memang mempunyai cerita panjang dalam kaitannya dengan saling klaim wilayah negara di atas dalam konteks ZEE, historis serta penamaan pulau-pulau dan nama Laut Cina Selatan. Ada baiknya kita melihat berbagai fakta atas klaim ini dan kemudian menempatkan diri pada posisi yang tepat.
Tahun 1947 Republik Rakyat Cina (RRC) adalah Negara pertama yang mengklaim Laut Cina Selatan dengan cara membuat peta resmi klaimnya atas pulau-pulau tersebut, juga memberi tanda sebelas garis putus-putus di seputar wilayah Laut Cina Selatan. Meskipun demikian RRC tidak menempatkan personilnya di sana.
Klaim yang dilakukan Cina adalah atas dasar sejarah. Secara geografis jarak antara RRC dengan Kepulauan Spratly sangatlah jauh dan tidak terjangkau dengan menggunakan konsep landas kontinen dan ZEE. Tetapi Cina melakukan klaim terhadap gugusan pulau di Kepulauan Spratly atas dasar sejarah.
Menurut Cina sejak 2000 tahun yang lalu Kepulauan Spratly sudah menjadi jalur perdagangan Cina. Konon telah ada jejak kehidupan Dinasti Cina di Kepulauan Spratly.  Argumen itu didukung dengan fakta-fakta sejarah diantaranya penemuan bukti-bukti arkeologis Cina dinasti Han (206-220 SM).
Konon pada abad ke-19 klaim atas wilayah itu sudah dilakukan oleh Cina tepatnya pada tahun 1876. Namun terjadi tumpang tindih klaim saat terjadi Perang Dunia I antara PERANCIS, INGGRIS DAN JEPANG yang melakukan ekspansi ke Laut Cina Selatan. Klaim yang lebih kuat adalah penerbitan peta dengan memasukkan hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan ke dalam peta wilayah RRC.


Baru sekitar tahun 1988, RRC melakukan ekspansi ke Kepulauan Spratly. Kegiatan ini dilakukan dengan membangun berbagai  instalasi militer secara besar-besaran di Kepulauan Spratly. Pada tahun 1988 pula tercatat konflik Cina-Vietnam dimana pada saat itu terjadi pendudukan di Kepulauan Spratly dan Paracel dengan mengusir paksa tentara Vietnam. Hal ini semakin diperkuat dengan upaya DE JURE yaitu dengan menerbitkan UU tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone yang memasukkan Kepulauan Spratly sebagai wilayahnya.
Fakta lain kemudian memperlihatkan negara yang lebih dahulu melakukan pendudukan disana antara lain adalah Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Taiwan.
Vietnam mengklaim dan langsung melakukan pendudukan di Kepulauan Paracel dan Spratly setelah perang dunia kedua berakhir. Hal yang sama juga dilakukan oleh Taiwan. Filipina juga melakukan klaim dengan menduduki kepulauan Spratly pada tahun 1971. Filipina beralasan bahwa kepulauan tersebut merupakan wilayah bebas. Filipina  merujuk perjanjian San-Fransisco 1951, yang antara lain menyatakan, Jepang telah melepas haknya atas kepulauan Spartly.
Vietnam melakukan klaim juga atas dasar historis. Vietnam menyatakan sudah menduduki Kepulauan Spratly dan Paracel pada abad 17. Selain itu ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa wilayah tersebut masuk ke dalam wilayah distrik Binh Son Vietnam. Vietnam Selatan menegaskan haknya atas kepulauan Spratly dalam konferensi San Francisco. Kemudian Vietnam mulai menyatakan pemilikannya atas Kepulauan Spratly pada tahun 1975 dengan menempatkan tentaranya di 13 pulau di Kepulauan tersebut.
Filipina mulai menduduki kepulauan Spratly diawali pada tahun 1970. Prinsip utama yang dipakai Filipina dalam klaim ini adalah RES NULLIUS. Filipina berpendapat klaim mereka Res Nullius karena tidak ada kedaulatan efektif atas pulau-pulau tersebut sampai tahun 1930, sejak Perancis dan kemudian Jepang mengambil alih pulau pulau tersebut. Ketika Jepang meninggalkan kedaulatan mereka atas pulau-pulau sesuai dengan Perjanjian San Francisco,  ada pelepasan hak atas pulau-pulau tanpa penerima khusus. Klaim juga dilakukan karena prinsip ZEE yang dianggap Filipina bahwa kepulauan Spratly termasuk didalamnya.
Klaim selanjutnya dilakukan oleh Malaysia dan Brunei Darussalam. Malaysia melakukan klaim terhadap beberapa pulau di Kepulauan Spratly yang kemudian diberi nama Terumbu Layang. Pulau tersebut termasuk dalam wilayah landas kontinen (LK) Malaysia atas dasar pemetaan wilayah negara yang dilakukan Malaysia pada tahun 1979. Brunei Darussalam juga melakukan klaim namun bukan terhadap gugusan yakni hanya wilayah laut di Kepulauan Spratly. Hal itu dilakukan setelah Brunei merdeka dari jajahan Inggris pada tahun 1984.
Berbagai konflik atas klaim ini sudah sering terjadi. Dimulai dengan konflik pertama bersenjata 1974 antara Cina dan Vietnam, kemudian kali kedua terjadi pada 1988. Selain itu pernah terjadi tembak menembak kapal perang antara RRC dan Filipina dekat Pulau Campones tahun 1996.
Konflik kembali terjadi pada tahun 2011. Pada waktu itu pasukan militer RRC gencar melakukan pendudukan dan latihan militer di sekitar pulau sengketa. Vietnam melakukan protes kepada Cina atas tindakan tersebut. Situasi makin memanas setelah kapal minyak PetroVietnam dirusak oleh militer Cina pada Mei dan Juni 2011. Vietnam pun melakukan pembalasan termasuk mengadakan berbagai kegiatan militer rutin tahunan di sekitar Laut Cina Selatan pada Juni 2011.
Tak hanya Vietnam, Filipina pun kian prustrasi ketika kapal pengangkut minyak Filipina ditangkap oleh militer RRC di sekitar perairan Kepulauan Spratly yang berangkat dari provinsi Guangdong  Selatan menuju Singapura. Rute yang dilalui memang berdekatan dengan wilayah-wilayah yang diklaim oleh Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Filipina pun mengajukan protes ke Perserikatan Bangsa-Bangsa perihal masalah ini.
Taiwan juga tak luput dalam melakukan klaim terhadap kepulauan Spratly. Klaim dibuktikan dengan pendudukan pada tahun 1956 di Kepulauan Spratly. Sebelumnya pada tahun 1947 Taiwan telah menerbitkan peta wilayah yang memasukkan Kepulauan Spratly di dalam wilayahnya. Salah satu klaimnya adalah pulau terbesar di kepulauan tersebut yaitu Pulau Aba alias Taiping Island.
Malaysia melakukan klaim terhadap kepulauan Spratly atas dasar Peta Batas Landas Kontinennya. Terlebih lagi sesuai UU Unclos 1982 secara jelas memperlihatkan bahwa sebagian wilayah kepulauan Spratly masuk ke dalam wilayah landas kontinen Malaysia. Malaysia juga melakukan upaya-upaya lain seperti pendudukan, klaim serta penamaan terhadap gugusan pulau di Kepulauan Spratly.
Pendudukan dilakukan Malaysia oleh pasukan militernya dimulai pada tahun 1977. Pada tanggal 4 September 1983 Malaysia mengirim sekitar 20 Pasukan Komando ke Terumbu Layang, dan pada tahun yang sama Malaysia melakukan survey dan kembali menyatakan bahwa kepulauan tersebut berada di perairan Malaysia.
Berbeda dengan negara pengklaim lainnya, klaim yang dilakukan Brunei bukan terhadap gugusan pulau tetapi hanya pada wilayah laut kepulauan Spratly. Brunei merupakan satu-satunya negara yang menahan diri untuk klaim dan  pendudukan militer di wilayah gugusan Kepulauan Spratly. Brunei melakukan klaim atas dasar konsep ZEE dimana sebagian wilayah dari kepulauan Spratly masuk dalam ZEE Brunei Darussalam.
Dari sekilas penjelasan tersebut diatas sudah dapat disimpulkan bahwa kepulauan Spratly menjadi rebutan klaim oleh negara-negara bersengketa tersebut karena POTENSI EKONOMI, POLITIS DAN GEOSTRATEGIS. Jadi terlihat dengan jelas bahwa ini adalah persoalan bilateral para negara pengklaim. Hal inilah yang kemudian menimbulkan konflik panjang yang hingga sekarang. Oleh karena itu sangat diperlukan upaya yang tepat untuk menangani kasus ini untuk meminimalisir konflik yang terjadi terutama sesama anggota ASEAN.

Berbaga Upaya Yang Telah Dilakukan

Beberapa usaha untuk menyelesaikan sengketa antar negara ini sudah dilakukan, di antaranya adalah pada tahun 1991, Cina melakukan perundingan bilateral dengan Taiwan mengenai eksplorasi minyak bersama yang berlangsung di Singapura.
Pada tahun 1992, Cina mengadakan pertemuan bilateral dengan Vietnam dan menghasilkan kesepakatan pembentukan kelompok khusus dalam menangani sengketa perbatasan teritorial.
Pada bulan Juni 1993, Malaysia dan Filipina melakukan hal yang sama dengan menandatangani perjanjian kerjasama eksplorasi minyak dan gas bumi selama 40 tahun di wilayah yang disengketakan.
Cina dan Filipina juga melakukan pertemuan untuk bersama-sama mengeksplorasi dan mengembangkan wilayah Spratly. Dan Pemerintah Malaysia dan Brunei Darussalam juga sudah bertemu untuk membicarakan hak pengelolaan ladang minyak di sekitar Sabah.
Sedangkan beberapa perjanjian multilateral yang pernah dilakukan dalam upaya penyelesaian sengketa Kepulauan Spratly, antara lain Deklarasi Kuala Lumpur 1971, yang membahas tentang kawasan damai, bebas, dan netral (Zone of Peace, Freedom and Neutrality) atau ZOPFAN.
Traktat Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara, yang dihasilkan dan disetujui pada KTT ASEAN I pada tahun 1976
Pembentukan ASEAN Regional Forum (ARF), yang dibentuk pada tahun 1994. Pertemuan ARF pertama kali dilangsungkan di Bangkok.
KTT ASEAN V tahun 1995, yang menghasilkan traktat mengenai kawasan bebas senjata nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Asia Zone-Nuclear Free Zone).
Technical Working Groups, Groups of Experts dan Study Groups, yang dipelopori oleh Indonesia. Dialog ini melibatkan aktor-aktor non-negara seperti ahli-ahli kelautan dan para akademisi. Dalam pembentukannya, tim yang tergabung mencari jalan terbaik bagi semua pihak yang bersengketa dengan menjalankan proyek kerjasama dalam hal monitoring ekosistem, keamanan navigasi, pelayaran dan komunikasi di Laut Cina Selatan. Dalam dialog ini kemudian disepakati proyek kerjasama dalam bidang penelitian keragaman hayati.
Dibawanya permasalahan ini oleh Indonesia ke ASEAN Post-Ministerial Conference, yang berhasil mendudukkan 22 negara se-Asia Pasifik.
Tahun 2002, ASEAN dan Cina menandatangani Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea. Dll.

Tidak ada komentar: