Selasa, 30 Juni 2009

Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara(II)



Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara(II)


II. LANGKAH – LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL HASIL YANG DICAPAI. Pembangunan bidang pertahanan Negara telah menunjukan kemajuan meskipun masih mempunyai berbagai kelemahan. Berbagai permasalahan kedaulatan wilayah yang dihadapi saat ini belum dapat diatasi secara cepat dan tepat oleh Pmemerintah. Sementara itu kondisi perekonomian yang masih kurang menguntungkan, mengakibatkan masyarakat rentan terhadap isu-isu yang berkembang. Kondisi tersebut mempermudah timbulnya komplik vertical dan horizontal yang berfotensi mengancam integrotas Negara Kesatuan NKRI. Sehingga memerlukan penanganan yang lebih komferhensif dengan melibatkan berbagai komponen yang terkait. Pembangunan segenap komponen pertahanan negar dilaksanakan lebih terarah dan terpadu dengan melibatkan berbagai unsure terkait. Secara sistematis dan terencana pembangunan komponen pertahanan Negara diawali dengan penyusunan dan penyempurnaan berbagai perangkat peraturan per UU sebagai penyabaran dari TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang tentang pemisahan TNI dan Kepolisisan Negara RI (Polri)serta TAP MPR No. VII/2000 tentang Peran TNI dan peran Polri, UU RI No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU RI No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selanjutnya Peraturan Perundang-undnagnan tersebut telah diikuti dengan pembenahan kelembagaan dan personil TNI sesuai dengan aspirasi rakyat secara konstisunil.... Dalam upaya meningkatkan kekuatan dan keampunan pertahanan Negara, pada TNI sebagai komponen utama pertahanan, telah dilakukan pemantatapan terhadap satuan-satuan yang belum standard an penyelesuaian organisasi sesuai dengan kebutuhan, sedangkan untuk komponen pendukung yang mencakup spectrum yang lebih luas dititik beratkan upaya inventarisasi/pendataan dan penyiapan berbagai perangkat lunak. 


 Dengan demikian pembangunan pertahanan dan keamanan telah mencakupi segenap komponen kekuatan pertahanan Negara dn kekuatan keamanan Negara, dengan bobot intensitas paada pembangunan kom[ponen utama TNI dan peningkatan kemampuan pertahanan dilakukan dengan strategi dan perencanaan pertahanan diarahkan pada pembentukan minimum essential force. Upaya untuk mencapai kondisi tersebut dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Pengadaan, pemeliharaan dan penghapusan alutsista. Pengadaan alutsista baru yang pengadaannya dengan memanfaatkan pibnjamanan luar negeri senantiasa diupayakan melalui peningkatan proporsi keterlibatan pemasok local dalam rangka pemberdayaan industri pertahanan nasional. Alutsista yang secara ekonomis masih dapat dipertahankan ditempuh melalui upaya repowering, retrofit dan refurbishment. Sedangkan alutsista yang sudah tua dan membutuhkan biaya tinggi dalam perawatan diupayakan untuk dihapuskan. 2. Kekurangan personil secara kuantitas secara kuantitas dipenuhi dengan melengkapi sesuai dengan TOP/DSPP, sedangkan secara kualitas ditempuh melalui upaya peningktan propesionalitas prajurit dengan emmberikan kesempatan mengikuti pendidikan dan latihan. 3. Melaksanakan evaluasi validasiorganisasi sesuai dengan tuntutan tugas. Untuk mengataasi keteerbtasan dukungan anggaran, maka dibuat rencana strategis melalui pendekatan skala prioritas yang diwujudkan secara brtahap, beejenjang dan berkesinambungan yang mencakup dimensi alutsista, system, personil, materil, serta sarana dan prasarana. Untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit, maka langkah – langkah yang ditempuh adalah melengkapi kebutuhan dasar prajurit berupa perumahan, fasilitas kesehatan, Uang lauk pauk (ULP), serta mengupayakan adanya jaminan social dan asuransi yang memadai bagi prajurit TNI yang sedang melaksanakan –tugas operasi maupun prajurit yang akan purna tugas sehingga dapat memberikan kepastian jaminan hidup. Untuk mengatasi ketidak adanya keterpaduan penelitian dan pengembangan nasional, maka dibuat dasar hokum dan pertaturan sebagai pedoman dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan utamanya industri strategis nasional yang dapat memproduksi peralatan maupun kebutuhan alutsista TNI. Untuk dapat melaksanakan diplomasi militer dibutuhkan kekuatan penyeimbang yang dimiliki oleh Negara-negara tetangga. 

 Pembangunan kekuatan TNI telah disusun dalam rencana Strategis Pembangunan TNI. Dengan beredoman pada kebijakan tersebut telah dilaksanakan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahn yang menghambat pembangunan dan pengembangan kemampuan pertahanan Negara, yaitu antara lain : 1. Menyiapkan payung hukum untuk menyinergikan upaya pertahanan dan keamanan Negara, serta meningkatkan kerja sama dan koordinasi deengan departemen/instansi terkait agar terwujud satu politicl will dalam memberdayakan seluruh potensi pertahanan Negara. 2. Meningkatkan kesiapan alutsista melalui program repowering dan pengadaan terbatas melalui system satu pintu. 3. Meningkatkan kemampuan prajurit melalui pendidikan dan latihan (Diklat) dengan sarana dan prasarana yang memadai dan mengupayakan peningkatan kesejahteraan secara bertahap. 4. Meningkatkan kepedulian masyarakat melalui sosialisasi dan pendidikan bela Negara. 5. Perlu segera direalisasikan UU batas wilayah kedaulatan NKRI sesuai amanat UUD 1945 pasal 25 A, serta pemberdayaan kelembagaan pengelolaan wilayahperbatasan dengan membentuk badan pengelolaan perbatasan nasional. 6. Perlu percepatan pemberian nama pulau-pulau yang hingga saat ini belum memiliki nama dan terabaikan sebelum limit yang ditetapkan oleh PBB pada tahun 2007. 7. ketertinggalan dan meningkatkan kemandirian dibidang teknologi pertahanan melalui pemberdayaan industri strategis dalam negeri dan kerjasama dengan luar negeri dalam rangka alih teknologi. 8. Mengupayakan peningkatan anggaran secara bertahap sesuai dengan kemampuan Negara serta mengelolanya dengan efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir hasil-haisl penting yang sudah dicapai antara lain adalah hal-hal sebagai berikut : 

1. Dalam pembangunan system dan metode dijajaran TNI pada saat ini sedang disusun empat konsep RUU, satu rancangan peraturan Pemerintah (RPP), tiga Rancanghan Peraturan Presiden (Perpres), Tujuh keputusan Panglima TNI dan peranti lunak lainnya sebagai penjabaran UU RI No. 34 tahun 2004 tentang Tentara nasional Indonesia (TNI).
2. Dalam pembangunan personil telah dilaksanakan rekrutmen, pendidikan, penggunaan, perawatan dan pemisahan personil.Kondisi personil TNI saat ini berjumlah 440.868 orang terdiri atas 375.669 militer dan 65.199 PNS (Pegawai Negeri Sipil). Rekrutmen dan pemisahan personil dilaksanakan sesuai dengan pertaturan yang berlaku. Peningkatan profesionalisme personil ditempuh melalui pendidikan, latihan perorangan, latihan satuan dan latihan gabungan. Sementara perawatan personil dititik beratkan pada peningkatan kesejahteraan yang terdiri dari atas fasilitas kesehatan, perumahan serta kenaikan ULP (Uang Lauk Pauk).
3. Pembinaan kemampuan dan kekuatan TNI telah dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan melalui pengadaan dan pemeliharaan alutsista. Pemeliharaan alutsista dilakukan dengan kegiatan repowering, retrofit dan pemeliharaan secara berkala untuk memperpanjang usia pakai. Pengadaan alutsista dimaksudkan untuk menggantikan atau melengkapi alutsists yang sudah ada dilakukan melalui pembelian alutsista baru secara selektif dengan memberdayakan industri pertahanan Nasional. 

4. Penggunaan kekuatan TNI dilaksanakan dalam rangka operasi Militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Tugas TNI yang dilakukan pada saat ini antara lain : a. Mengadakan operasi didaerah rawan b. Pengamanan perbatasan diwilayah perbatasan darat, laut serta udara. c. Penegakan hokum diwilayah yurisdiksi Indonesia serta tugas bantuan rehabilitasi/rekontruksi di provinsi Aceh NAD, Nias dan membantu mengatasi korban bencana alam diwilayah seluruh RI.

5. Hasil Penelitian dan Pengembngaan TELAH DAPAT DIMANFAATKAN UNTUK KEPENTINGAN tni SESUAI DENGAN SPESIFIKASI MATRA. Sebagai contoh Prototype payung udara orang (PUO), Alkom spread spectrum. Hovercraft, landing craft rubber (LCR), combat system PC-40, SKS Tracking Optic, Rudal (Surface to surface, Ground to ground dan ground to air), roket 70 mm dan 80 mm, unman Aerial Vehicle (UAV), Angkut personil sedang (APS), Panser APS, SDenjata SS-2, adapun gyro digital telah memenuhi psersyaratan dan siap digunakan oleh TNI.


6 Terkait dengan daerah perbatasan, pada tahun 2006 TNI AD telah membangun 23 pos perbatasan. Sedangkan untuk pengamanan pulau-pulau terluar telah dibangun 10 buah pos pengamanan di 10 pulau terluar serta telah digelar pasukan pngaman. Selanjutnya TNI-AL membangun 14 pos perbatasan dan dipulau terluar, adapun meliputi : P. Rondo, P. Mangkai, P. Berhala, P. Nipah, P. Sekatung, P. P. Subi kecil, P. Kepala, P. Marore, P. Danarote, P. Dana Sabu, P. Marampit, P.Miangas, P. Sebatik, P. Tokonng Hiu. Untuk pengamanan pos perbatasan dan pulau terluar tersebut telah digelar paukan Marinir. 

7. Dalam rangka pendayagunaan potensi pertahanan, pemerintah terus berusaha melaksanakan sosialisasi kesadaran bela negra. Dalam penanggulangan akibat bencana Tsunami di Aceg dan zNias, telah dilaksanakan pengorganisasian partisifasi masyarakat dalam wadah kelompok relawan serta pengorganisasian bantuan dari luar negeri khususn yang berasal dari angkatan bersenjata Negara-negara sahabat. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, dalam rangka penanggulangan bencana alam tersebut, TNI telah menunjukan peran yang sangat proaktif terutama pada tahap tanggap darurat. Bersamaan dengan itu dalam rangka menyiapkan paying hokum untuk mengatur pelibatan dan peranserta masyuarakat dalam bidang pertahanan Negara, telah disusun dan disosialisdasikan Naskah Akademik RUU Komponen Cadangan dan RUU terkait lainnya.

Kamis, 18 Juni 2009

Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara(I)

Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara(I)


 Pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan negara diselenggarakan secara terpadu dan bertahap sesuai dengan kemampuan negara serta diarahkan untuk mewujudkan pertahanan yang profesional dan modern yang mampu menindak dan menanggulangi setiap ancaman. Pembangunan pertahanan negara sampai saat ini baru menghasilkan postur pertahanan negara dengan kekuatan yang masih terbatas, terutama perimbangan gelar kekuatan TNI dengan kemampuan Pemerintah bila dihadapkan dengan tugas, luas wilayah, jumlah penduduk dan nilai kekayaan Nasional yang harus dijamin keamanannya. Kekuatan personil sebagai salah satu komponen utama TNI, pada saat ini berjumlah 376.375 prajurit yang terdiri dari 288.857 prajurit TNI-AD, 59.189 prajurit TNI-AL dan 28.329 prajurit TNI-AU. Adapun kondisi Alutsista TNI sebagian besar telah berusia tua, yaitu antara 25 sampai sampai dengan 40 tahun. Peralatan tersebut secara kualitas masih jauh dibawah standar dan secara kualitas belum memenuhi kebutuhan table Organisasi dan Peralatan (TOP)/daftar susunan Personil dan perlengkapan (DSPP), meskipun secara terus menerus dipelihara dan diperbaiki agar siap dioperasikan. Komponen cadangan dan pendukung pertahanan negara yang merupakan bentuk implementasi kesemestaan dalam system pertahanan negara, belum dapat dipersiapkan secara fisik mengingat penyusunan RUU Komponen cadangan saat ini sedang dalam proses penyelesaian di Departemen Pertahanan dan diharapkan pada tahun 2006 dapat diajukan ke DPR RI. Sedangkan komponen pendukung masih merupakan kekuatan potensial yang memerlukan pengelolaan lebih lanjut agar pada saatnya nanti pertahanan negara selain mengandalkan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan dapat juga mengandalkan kekuatan dan keampuan komponen pendukung.... 


Sementara itu anggaran Pertahanan sampai dengan tahun 2006 baru mencapai 0,93 % ( persen) dari produk domestic bruto (PDB) atau 4,36 % (persen) dari anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai gambaran pembanding, anggaran Pertahanan Negara di Kawasan Asia Tenggara pada umumnya telah mencapai diatas 2 % (persen) dari PDB. Kondisi ideal anggaran pembangunan Pertahanan Indonesia dalam periode 5 tahun kedepan diharapkan berkisar 3-4 %(persen) dari PDB. Rendahnya anggaran pertahanan menyebabkan upaya peningkatan kemampuan pertahanan menjadi semakin sulit, termasuk program peningkatan profesional dan kesejahteraan prajurit. Untuk itu pembangunan pertahanan Negara diarahkan pada tercapainya kekuatan pokok minimal (minimum essintial force), yaitu tingkat kekuatan yang mampu menjamin kepentingan strategi pertahanan yang mendesak. I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Belum terpenuhinya minimum essential force TNI, menyebabkan tugas-tugas TNI dalam rangka menegakan kedaulatan dan keutuhan NKRI masih terkendala. Kurang memadainya kondisi dan jumlah alat utama system persenjataan (alutsista), sarana dan prasarana, serta masih rendahnya tingkat kesejahteraan anggota TNI merupakan permasalahan yang selalu dihadapi dalam upaya meningkatkan profesionalisme TNI. Peralatan militer yang dimiliki kebanyakan sudah usang dan ketinggalan jaman dengan rata-rata usia lebih dari 20 tahun. Dengan wilayah yang sangat luas baik wilayah daratan, laut maupun udara, maka kondisi kuantitas, kualitas serta kesiapan operasional alutsista yang kurang memadai sangat muskil untuk dapat menjaga integritas dan keutuhan wilayah yurisdiksi secara oftimal, terlebih lagi bila timbul permasalahan lain yang tidak terduga, seperti bencana alam. Keterbatasan dukungan anggaran yang disediakan untuk TNI berdampak pada sulitnya mempertahankan kekuatan dan kemampuan yang ada. dari alokasi anggaran TNI sebesar 54 % diperuntukan bagi belanja pegawai dan sebesar 27 % diperuntukan bagi belanja barang/jasa. Sementara itu untuk kebutuhan pembangunan materiil (belanja Modal) dalam upaya memperpanjang usia pakai alutsista yang ada, porsinya hanya 27 %. Kondisis ini tidak menguntungkan bagi TNI kedepan mengingat prosentasi terbesar alokasi anggaran TNI digunakan untuk belanja rutin (belanja pegawai dan belanja barang/jasa). 
Rendahnya alokasi anggaran rupiah untuk pembangunan materiil dihadapan dengan besarnya anggaran untuk memenuhi kebutuhan dalam pengadaan dan pemeliharaan kesiapan operasional alutsista TNI, menyebabkan pemanfaatan pinjaman luar negeri tidak dapat dihindarkan lagi. Masih rendahnya tingkat kesejahteraan prajurit TNI dapat mempengaruhi tingkat kedisiplinan dalam melaksanakan tugas. Rendahnya tingkat kesejahteraan prajurit TNI merupakan masalah serius karena secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat priofesinalisme dan kedisiplinan. Kecukupan kalori dangizi serta kondisi kesehatan para prajurit sangat penting guna memiliki kemampuan dan keahlian untuk berlatih dan bertempur dengan baik. Disamping itu terpenuhinya kebutuhan dasar hidup keluarga dapat mempengaruhi ketenangan dan konsentrasi dalam melakukan tugas operasi dan latihan. Uang Lauk Pauk (ULP) saat ini hanya cukup untuk 1.700 kalori perhari dari kebutuhan ideal 3.600 kalori perhari. Demikian halnya, besarnya gaji dan asuransi serta tunjangan lainnya, saat ini masih relative masih jauh dari mencukupi apabila dihadapkan pada tugas tugas yang diembannya. Belum terwujudnya kegiatan peneltian dan pengembangan nasional yang terpadu dan nyata dibawah kendali [pemerintah untuk kepentingan kebutuhan alutista. Ketergantungan pada teknologi dan industri militer luar negeri yang rawan embargo merupakan permasalahan yang masih dihadapi dalam rangka kemandirian industri pertahanan dalam negeri. Selama ini sumber pengadaan atau pembelian alutsista TNI sebagian besar hanya berasal dari beberapa Negara sehingga rentan terhadap pembatasan atau embargo yang diterapkan oleh Negara pemasok. Disamping factor kompatibilitas, terbatasnya variasi sumber pengadaan yang juga merupakan akibat dari ketergantungan terhadap bantuan dari beberapa Negara tersebut. Selama ini sulit dihindarkan, Selain kedua factor tersebut mahalnya biaya pnelitian dan pengembangan dalam bidang teknologi militer modernm menyebabkan tingginya biaya produksi yang bermuara pada tidak komfetitif harga jual produk militer dalam negeri. Hal tersebutlah yang menjadi penyebabnya kurangnya minat untuk memilih produksi dalam negeri, terlebih lagi bila jumlah jkebutuhan /permintaan terlalu kecil. 
Dissi lain Joint production antara industri strategis nasional dengan industri pertahanan asing tidak mudah terealisasikan karena adanya persyaratan-persyaratan tertentu yang menynagkut aspek politik, ekonomi dan teknis. Keterbatasan deplomasi militer sebagai bagian dari deplomasi politik Negara untuk kepentingan nasional. Diosamping terkendala oleh terbatasnya alutsists, sarana dan prasarana serta belum mantapnya profesiponal prajurit TNI, system pertahanan Negara juga terkendala oleh minimnya perangkat hokum terutama dalam hal deplomasi militer dengan kekuatan militer asing. Kasus pelanggaran wilayah sebagaimana yang terjadi diwilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar seperti Blok Ambalat , Pulau Gosong, Pulau Bidadari, Pulau Mengkudu, Pulau Sutri dan Pulau Kukusan merupakan dampak dari belum tersedianya perangkat hokum yang memberikan ketegasan garis perbatasan nasional dan simbul kepemilikan. Disamping itu dalam tataran pergaulan internasional sebagai akibat rendahnya kemampuan deplomasi militer disertai dengan rendahnya daya penggentar system pertahanan menyebabkan partisifasi dalam menciptakan keamanaa kawasan, regional, dan internasional kurang dapat diperhitungkan. Hal ini terlihat dari kecilnya peran Indonesia dalam mengatasi krisis persenjataan nuklir Korea Utara.

Kamis, 11 Juni 2009

Martabat Bangsa


Nasionalisme, Kemiskinan Dan Martabat Bangsa

Oleh : Harmen Batubara *) Freeport , Blok Cepu dan Natuna punya nama, Indonesia pemilik hak yang sah tetapi negeri lain yang menikmati hasilnya. Dalam nuansa yang berbeda, ketika ekonomi Thailand dikelola Thaksin layaknya peruasahaan keluarga, maka para prajurit itupun tak mampu lagi menahan semangat nasionalisme mereka dan kudetapun terjadi. Bahkan tidak hanya sampai disitu, pada ahir desember 2006, nasionalisme Thailand mengindikasikan agar saham asing pada sistem perbankan Thailand dibatasi sampai 30 persen. Akibatnya para investor panik, bursa saham Thailand anjlok. Belum lagi sentimen investor pulih maka, januari 2007 muncul lagi kebiajakan baru, pemerintahan junta militer Thailand membatasi kepemilikan asing pada perusahaan Thailand hanya sampai 50 persen, sekali lagi bursa saham anjlok. 
 Perubahan radikal yang seperti itu, pasti akan menimbulkan rasa panik dan jelas memerlukan penyesuaian yang tidak mudah. Para investor internasional meskipun sudah siap-siap dari jauh hari, akan tetapi tetap saja terkejut dan tidak suka dengan kebijakan seperti itu. Meskipun belum tentu mereka terinpirasi kemampuan Evo Morales dalam ”menasionalisasikan ladang-ladang minyak ” mereka, akan tetapi membawa semangat patriotisme dan nasionalisme ke kancah bisnis modern yang sesungguhnya, memerlukan pemahaman dan kebijakan yang kepemihakannya perlu kebijaksanaan itu sendiri. 
Di Indonesia berbeda nuansanya, rasa nasionalisme tetap tinggi tetapi semangat korupsi, semangat merusak tatanan hukum dan nilai-nilai budaya tak kalah hebatnya dan; negeri ini dikelola bagai dinasti dari Raja-raja zaman baheula, para pejabatnya di ambilkan dari kekuatan riil politik yang mendukungnya. Rakyat boleh sengsara, semua sekolah boleh rubuh dan infrastruktur boleh hancur-hancuran tetapi para pejabatnya tetap punya cara untuk meningkatkan penghasilan mereka; minimal mereka masih bisa pergi entah ke negara mana saja mereka suka, dengan semua atribut yang memungkinkan mereka tetap di hormati, di layani dan semua itu dibiayai secara syah oleh negara. Semangat seperti itu ada di lingkungan Legislatif, Yudikatif dan eksekutif. Hanya rakyatnya saja yang tidak punya pilihan kecuali, demo dan bawa poster keprihatinan kemana-mana. Lalu kini datanglah bulan Mei, bulan yang mengingatkan kita pada semangat kebangkitan bangsa. Tetapi dengan latar belakang setting yang seperti itu, apakah kita masih punya asa untuk mencoba mengusung makna semangat patriotisme, semangat nasionalisme untuk menyongsong Visi 2030. Rasanya, jauh terletak dihati yang paling dalam, upaya seperti itu hanyalah suatu kesia-siaan belaka. Akan tetapi kalau membaca Re-Code nya Rhenald Kasali, kita diingatkan agar meski sejecil apapun, asa harus tetap disiasati agar maknanya tetap lestari. 
Bentuk Yang Berbeda.... Bagi penguasa Thailand nasionalisme dalam bisnis sejatinya bukanlah inti dari permasalahan yang sesungguhnya, tetapi lebih pada strategi pencitraaan yang mencoba mengemas masalah pengalihan kekuasaan persi militer ” baca, kudeta” dengan mencoba memainkan sentimen nasionalisme di dalamnya. Hal seperti inilah sejatinya yang juga sangat kita khawatirkan bisa menemukan bentuk yang tepat di tengah keterpurukan perekonomian bangsa, terutama setelah munculnya demo Harriman Siregas cs dengan thema ’ mencabut mandat’ dan gossip munculnya kembali jargon dewan revolusi dan issu-issu sejenis. Sejatinya, mungkin nggak sih di Indonesia muncul ’kudeta’ dari pihak aparat bersenjata ? Untuk kudeta, dipercaya hal seperti itu tidak bakalan ada; TNI tidak punya tradisi semacam itu, tapi kalau bentuknya beda serta dikemas dalam wujut yang lebih sopan maka jawabnya ya; karena untuk berbagai eufemisme dalam segala bentuknya, para intelektual Indonesia dan seluruh jajarannya adalah gudangnya; mereka dengan mudah memakai aparat dan bahkan kekuatan TNI sekalipun dengan tanpa beban, dan judulnya pasti rakyat yang memberi mandat kepada TNI, bukan sebaliknya. Tapi selama SBY-Kalla ada disana, sepertinya upaya itu tak bakalan ada. Dalam konstek semacam ini, kita harus berkaca pada sejarah, bahwa banyak negara yang sejatinya tadinya sudah berkembang dan maju secara meyakinkan, tetapi ketiga para intelektual dan para pemegang otoritas kekuasaan lalai dan mencoba lebih mengutamakan golongannya, maka tidak dinyana negeri itupun terpuruk pada persoalan sosial sepele yang merupakan pemanfaatan sentimen perpaduan Sara dan masalah keadilan ekonomi. Sebutlah Filipina, sebuah negara dengan prospek yang sangat menjanjikan kemakmuran di era tahun-tahun 70 an, kemudian terpuruk dan terjerembab karena masalah keadilan yang digadaikan serta korupsi yang meraja lela dan itulah celah yang dipakai oleh setiap pendekar bangsanya untuk tampil ke permukaan bagi kepentingan mereka dan golongannya, tetapi dengan merusak rasa kebersamaan nasional dan itulah pula yang dialami oleh Sri Langka, yang sebenarnya juga merupakan negeri dengan ekeonomi terkaya dikawasan pada tahun-tahun 60 an dan hal seperti itu juga terjadi bagi negeri seperti Argentina di belahan dunia lainnya, dan sejatinya hal seperti itulah yang tidak pernah lepas dari Indonesia yang dikemas dalam bentuk DII/TII, Permesta, OPM Papua, Gam Aceh dan Poso dll. Dan jangan lupa, Indonesia juga adalah negeri dengan segala pujian atas berbagai keberhasilan pada tahun-tahun 80an, bahkan dikatagorikan sebagai salah satu macan Asia, tetapi ternyata kemudian terjebak pada lingkaran tanpa ujung, ketika rezim orde baru tumbang; para intelektual dan pemegang otoritas kekuasaan bangsa justeru memperlihatkan kembali semangat sekretarian, yang mampu memanfaatkan apa saja asal golongannya bisa tampil ke permukaan; beruntung negara ini masih mampu menghadirkan tatanan dan perangkat demokrasi yang untuk sementara mampu menahan keinginan semua golongan dapat mengikatkan komitmen diri dan golongan untuk tetap menjungjung semangat demokrasi yang ada; meski demokrasinya sendiri belum punya wujut nyata. Tetapi persoalannya ternyata tidak cukup hanya sebatas membenahi keterpurukan yang pernah ada, tetapi justeru berbagai bencana, bencana alam dan bencana akibat salah urus juga datang secara bersamaan dan persoalan itulah yang pada saat ini menjadi tantangan bagi kepemimpinan yang ada; mampukah mereka membenahinya. Masalahnya adalah, masih adakah semangat kebersamaan meski dalam kondisi keterpurukan. Agaknya inilah yang menjadi inti di saat kita memperingati Kebangkitan Nasional tahun ini. Melihat kebangkitan nasional dari kondisi riil masyarakat kita pada saat ini, sesungguhnya hampir tak punya arti; pada dasarnya kita mencoba memanfaatkan peringatan kebangkitan nasional ini dengan taraf kesejahteraan rakyat. Kalau kita cermati, semangat kebangkitan nasional ini sejatinya adalah upaya dialogis yang dilakukan anak bangsa untuk memperoleh kemerdekaannnya. Padahal salah satu amanat kemerdekaan itu ada pada UUD 1945, yang mengamanatkan demi kesejahteraan bangsa. Padahal justeru pada kesejahteraan bangsa itulah, kita jadi tidak punya harapan untuk menggapainya; khususnya ketika kita mau mengamati apa sesungguhnya yang terjadi pada era-era sebelumnya dalam hal perekonomian dan pertahanan bangsa. Gaya boleh beda, tetapi tiba pada hasilnya ya sebenarnya sama saja. Usaha yang sungguh-sungguh untuk mewujutkan kesejahteraan anak bangsa itu hanya ada dalam retorika belaka. Salah satu bukti konkritnya yang bisa kita amati adalah “resufle kabinet” yang baru saja berlalu; intinya tokh hanya satu yakni bagaimana mengamankan kolaborasi bersama menghadapi pemilu tahun 2009, sukur kalau dengan cara seperti itu ekonomi anak bangsa bisa jadi lebih baik. Yang jelas, semangat “ iyokan nan di urang lalukan nan di awak” dan semangat pencitraan seperti yang ditengarai oleh Ibu Mega, sangat kental sekali. Semoga Masih Punya Nurani Dari segi ekonomi misalnya, ketika krisis tahun 1998 sembilan tahun yang lalu, kondisinya memang berbeda. Pemerintah dengan target untuk ekonomi pertumbuhan tinggi. Arus modal jangka pendek yang amat besar dipersilahkan masuk; kredit bank (di obral) yang didominasi untuk pembangunan infrastruktur berjangka panjang, proverti dan jalan tol, nilai tukar rupiah yang di patok pada harga tetap yang terlalu tinggi; dan ditambah buruknya tata kelola perusahaan. Pertumbuhan tinggi ini sayangnya hanya ditopang oleh ekonomi ” besar pasak dari tiang” yang bertumpu atas tiga pilar defisit yang ditutup dengan cara ngutang selama tiga dasa warsa; defisit pertama (investasi lebih besar dari tabungan domestik); defisit anggaran APBN (pengeluaran pemerintah lebih besar dari penerimaan pemerintah); dan defisit ”current account”( impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor barang dan jasa). Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Depkeu memperkirakan modal asing yang masuk Indonesia hingga April 2007 sekitar 10 triliun rupiah. Sekarang jumlah tabungan domestik luar biasa, jumlah SBI makin membengkak, per Maret 2007 sudah mencapai 263 triliun rupiah atau hanya terpaut beda sedikit dengan jumlah uang kartal yang beredar di pasar (272 triliun rupiah). Yang terjadi adalah uang hanya berputar-putar di sistem keuangan. Dana pemerintah pusat yang diberikan ke Pemerintah Daerah ternyata malah banyak pula yang ditanamkan kembali jadi SBI. Sehingga dana yang tadinya bisa diharapkan akan mampu menggerakkan sektor riil dan membuka lapangan kerja, malah jadi beku dan harus dibayarkan pula bunganya. Ekses likuiditas ini akan semakin besar karena pembiakan dana oleh sistem keuangan lebih cepat dari yang bisa diserap oleh sektor riil. Masalahnya jika ekses likuiditas ini tidak bisa di serap oleh BI, ia akan berpotensi menurunkan nilai rupiah secara drastis. Dan juga yang membuat perbedaan adalah kinerja ekspor mencatat rekor nyaris mencapai 100 US miliar; jadi pada saat ini yang masih defisit sebenarnya tinggal dalam pembiayaan APBN. Jadi dahulu hutang besar, uang tabungan tidak punya; sekarang hutang tetap besar tetapi tabungan domestik juga besar; yang masih sama adalah sektor riil yang tidak bergerak. Dahulu para pengusaha ngutang, 25 % nya buat usaha sisanya dikorup dan usahanya dinyatakan bankrut; pengusahanya happy, tak ada lapangan kerja, selesai. Sekarang, dana banyak tapi tak ada pengusaha yang pinjam untuk buka usaha, tak ada lapangan kerja, pemerintah bayar bunga, selesai. Tapi yang menjadi tanda tanya, kenapa pemerintah sepertinya tak pernah sadar bahwa tidak bergeraknya sektor riil dari dahulu, masalahnya dari itu kesitu juga; yang menonjol, adalah lemahnya pembangunan infrastruktur, tidak jelasnya kepastian hukum, ekonomi biaya tinggi, birokrasi yang lamban.