Jumat, 31 Desember 2010
Nasib Buruh Yang Tidak Pernah Membaik
Kamis, 02 Desember 2010
Peta Bisnis, Peluang Bisnis Yang Perlu Anda Coba
Rabu, 03 November 2010
Belajar Bisnis Internet Dengan Gm Susanto
"Beri saya 2 menit Dan Saya Akan Tunjukkan Bagaimana Anda Bisa Belajar Internet Marketing Dengan Mudah Kurang Dari 24 Jam Dari Sekarang"Pelajari Rahasia Bagaimana Teman saya Bisa Menghasilkan |
Jumat, 15 Oktober 2010
Tanah Ulayat, Tanah Bermakna Bagi Pertahanan Wilayah
Konsep
dasar PP ini adalah fungsi sosial hak atas tanah. Setiap pemegang hak atas
tanah wajib mengu sahakan atau menggu nakan tanahnya secara bertanggung jawab.
Ketika
kewajiban itu dilanggar, melalui suatu proses, tanah yang bersangkutan
dinyatakan telantar, hak atas tanahnya hapus dan tanahnya dikuasai oleh negara,
untuk selanjutnya didayagunakan untuk berbagai keperluan. Adapun masalahnya
meliputi;
Pertama,
walaupun HPL disebut sebagai obyek penertiban tanah telantar, tetapi tidak
dijabarkan lebih lanjut. Mengapa? Karena pencantuman HPL itumenimbulkan
kontradiksi: (1) HPL itu bukan hak atas tanah, tidak ada jangka waktunya, tidak
dapat hapus/dihapuskan, tetapi berakhir jika dilepaskan/diserahkan kembali
kepada negara oleh pemegang HPL; (2) jika HPL tersebut berstatus sebagai barang
milik negara/daerah, justru dikecualikan sebagai obyek tanah telantar.
Kedua,
pengaturan tentang pengecualian sebagai obyek tanah telantar menimbulkan
pertanyaan sebagai berikut (1) jika HM/HGB atas nama perorangan dikecualikan,
bagaimana dengan HP atas nama perorangan; (2) mengingat banyaknya jenis dan
status penguasaan tanah yang ada, di mana kedudukan tanah ulayat masyarakat
hukum adat dan tanah-tanah milik adat yang belum selesai proses
administrasinya, dalam PP ini.
Baca Juga : China Memicu Lomba Persenjataan di Asia?
Kemudian,
(3) bila tanah tidak diusahakan/digunakan karena dikuasai pihak lain (dalam
sengketa) atau sedang menjadi obyek sengketa/perkara di pengadilan, bagaimana
sikap PP terhadap hal ini?
Ketiga,
hasil kerja Panitia C dapat berujung pada penetapan sebagai tanah telantar.
Perlu ditegaskan dalam PP bahwa penelitian terhadap tanah yang diindikasikan
sebagai telantar itu secara teknis operasional dilaksanakan sesuai dengan
peraturan instansi terkait. Masyarakat perlu memahami bahwa proses itu makan
waktu.
Hal Tanah Ulayat
Begitu
juga yang disampaikan Kompas 15/10/2010; Eksplorasi dan eksploitasi
besar-besaran atas tanah dan kekayaan alam di Kalimantan dan Papua tidak hanya
menghabiskan cadangan dan sumber hidup warga asli, tetapi juga berdampak
terhadap terjaminnya hak hidup masyarakat asli. Bahkan, eksploitasi
besar-besaran itu berpotensi menimbulkan konflik horizontal antarwarga. Namun,
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah justru abai dan cenderung
represif ketika masyarakat asli menolak atau menuntut penghentian eksploitasi
tersebut.
Pembukaan
besar-besaran perkebunan sawit dan penambangan batu bara di Kalimantan serta
pencanangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke,
Papua, menjadi contoh nyata atas persoalan tersebut. Hal itu terungkap dalam
pertemuan antara komunitas masyarakat adat Kalimantan dan orang asli Papua
dengan Redaksi Kompas, Kamis (14/10) di Jakarta.
Ketua
Lembaga Masyarakat Adat Merauke Albert Moiwend mengatakan, masyarakat adat
tidak pernah dilibatkan dalam proses lahirnya kebijakan MIFEE di Merauke.
Mereka baru sadar setelah pemerintah dan pengusaha perlahan-lahan mengambil dan
menguasai lahan milik masyarakat asli Merauke. Hal serupa juga terjadi di
beberapa wilayah di Kalimantan, seperti Tanjung Selor dan Sintang. Benediktus
Benglui, seorang kepala desa di Tanjung Selor, mengatakan, warga tidak pernah
tahu wilayahnya telah dimasukkan ke dalam peta yang dikembangkan untuk
perkebunan kelapa sawit. Pemberian izin lokasi oleh pemerintah setempat kepada
pengusaha sama sekali tidak memerhatikan keberadaan mereka. ”Bupati mengatakan,
tidak ada tanah adat di wilayah itu, yang ada adalah tanah negara,” kata
Benediktus Benglui.
Menurut
Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia Danny
Sanusi, kebijakan pemerintah atas nama pembangunan itu nyatanya justru
mengancam hak hidup masyarakat asli di dua wilayah tersebut. Mereka tidak hanya
kehilangan tanah dan mata pencarian yang menjadi modal dan jaminan hidup
mereka. Masifnya eksplorasi dan eksploitasi itu juga melahirkan kooptasi dan
represi terus-menerus terhadap komunitas masyarakat adat.
Di
Papua dan Kalimantan, hal itu tidak hanya memunculkan ancaman bencana ekologis,
tetapi juga marjinalisasi. Bahaya yang dihadapi tidak hanya pada sektor
ekonomi, tetapi juga meliputi sosial dan budaya. Untuk itu, pemerintah
diharapkan mampu melakukan tindakan konkret dan berpihak kepada keberadaan dan
perkembangan masyarakat adat, baik di Kalimantan maupun kepada orang asli di
Papua. (JOS)
Jadi
Indonesia yang luas wilayahnya dan kaya akan SDA nya tetapi tidak bisa di
optimalkan, tidak bisa di manfaatkan secara berdaya guna, karena pemerintah dan
pemda tidak mampu membuat aturan yang bisa memanfaatkan wilayah secara optimal;
wilayah kita justeru sangat rentan bila dilihat dari kacamata pertahanan.
Selasa, 21 September 2010
TNI Tentara Pejuang atau Profesional
Semangat dan penilaian senada juga disampaikan dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Edy Prasetyono. Menurut dia, proses reformasi internal TNI jauh lebih baik dari upaya serupa yang dilakukan institusi lain, bahkan jika dibandingkan dengan proses reformasi birokrasi di Indonesia. Komitmen untuk mereformasi diri tersebut, tambah Edy kemudian, dikonkretkan dengan keluarnya TNI dari legislatif di DPR dan MPR sekaligus menghapus doktrin peran ganda (Dwi Fungsi) ABRI (TNI ketika itu).
Selasa, 07 September 2010
Insiden Bintan, Memahami Persoalan Dua Negara
Kamis, 02 September 2010
Peduli dan Bela Nasib Mereka Yang Pro NKRI
Baca Juga : Garis Perbatasan Darat RI – Timor Leste Disepakati
Cobaan berat tidak berhenti. Setahun kemudian, pascajajak pendapat tahun 1999, Olandina yang sudah menjanda dan membawa lima anak itu harus mengungsi ke Kabupaten Kupang. Dalam pengungsian itu, ia pun harus terpisah dengan sebagian besar anaknya. Tiga anaknya yang paling besar, yaitu Merlinda da Silva, Adelina Maria, dan Jean da Silva terpaksa ditinggal di Timtim, sedangkan dua yang paling kecil, Ester da Silva dan Monica da Silva dibawa bersamanya.
Selasa, 17 Agustus 2010
Mengajar di Derah Tetinggal, Jangan Pernah Menyerah
Sabtu, 31 Juli 2010
Geopolitik AS di kawasan Asean

Minggu, 18 Juli 2010
BNPP, Solusi Pembangunan Di Wilayah Perbatasan
Selasa, 22 Juni 2010
Industri Perkapalan, "Teak Boat" Diminati Korea Selatan
Senin, 14 Juni 2010
Afganistan Terpuruk karena Konflik dan Korupsi
Daftar tahunan TI itu menunjukkan bagaimana negara-negara yang dilanda konflik kemudian dijalankan dengan praktik-praktik penyuapan dan korupsi. Dalam daftar TI itu, negara-negara yang dilanda konflik menepati urutan-urutan terbawah. Myanmar menempati urutan ke-178, Sudan ke-176, Irak ke-176, dan Chad ke-175.
Indonesia pada tahun 2009 menempati urutan ke-111, bersama Mesir, Kiribati, Mali, Djibouti, Kepulauan Solomon, Mali, Togo, Sao Tome, dan Principe, dengan nilai total 2,8.
Adapun negara paling bersih dari praktik korupsi pada tahun 2009 ditempati Selandia Baru, disusul Denmark (2), Singapura (3), Swedia (4), dan Swiss (5).
TI yang bermarkas besar di Berlin itu menjelaskan, negara-negara yang infrastrukturnya ”tercabik-cabik” oleh konflik membutuhkan bantuan dari luar untuk mencegah mengakarnya budaya korupsi.
”Masyarakat internasional harus menemukan cara yang efisien untuk membantu negara-negara yang tercabik-cabik perang untuk mengembangkan dan mempertahankan lembaga-lembaganya,” jelas Ketua TI Huguette Labelle, Selasa (17/11).
Secara keseluruhan, daftar korupsi 2009 menunjukkan ”kekhawatiran besar” karena mayoritas negara mendapatkan nilai di bawah lima, dari skala penilaian nol (paling korup) sampai 10 (paling bersih).
Pemerintahan Karzai
Afganistan yang pada tahun sebelumnya mendapat skor 1,5, tahun ini mendapat skor lebih rendah, yaitu 1,3, yang mengindikasikan buruknya kinerja pemerintahan Hamid Karzai.
Daftar Indeks Persepsi Korupsi TI 2009 itu juga menjadi ”pembenar” atas tuduhan pemerintahan Karzai yang korup, seperti ditudingkan lawan-lawan politik Karzai dan juga negara-negara pendukungnya.
Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton pekan ini memperingatkan Karzai bahwa dukungan finansial AS akan dikaitkan dengan upaya-upaya untuk mengatasi korupsi dan penghapusan budaya ”impuniti” terhadap mereka yang korup.
Penurunan peringkat bukan hanya dialami negara-negara yang berada dalam kondisi konflik. Sejumlah negara maju Eropa pun mengalami kemunduran dalam soal korupsi.
Italia, yang merupakan anggota G-7, melorot dari peringkat ke-55 pada tahun 2008 menjadi ke-63 pada tahun ini. Anggota Uni Eropa, Yunani, bahkan turun jauh dari rangking ke-57 menjadi ranking ke-71.
China, yang dikenal keras dalam memerangi korupsi, mendapatkan nilai yang sama dengan tahun sebelumnya, yaitu 3,6. Namun, dari ranking China juga turun, dari 72 ke posisi 79.
AS menunjukkan perbaikan dengan total nilai naik dari 7,3 ke 7,5, tetapi peringkatnya turun dari 18 menjadi 19.
Kemajuan besar dicatat oleh Norwegia, Qatar, Arab Saudi, Montenegro, dan Malawi. Arab Saudi tahun ini menempati ranking ke-63 bersama-sama Italia. Adapun Qatar menempati ranking ke-22, dengan nilai 7,0. Meskipun masih di bawah, Irak juga menunjukkan perbaikan, dengan nilai 1,5 dari 1,3 pada tahun lalu. (Kompas:/AP/AFP/OKI/ 18/11/2009)