Selasa, 07 September 2010

Insiden Bintan, Memahami Persoalan Dua Negara






Oleh : M Riza Damanik

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Peribahasa ini pas menjelaskan tumpukan kerugian bangsa Indonesia akibat salah kelola penyelesaian insiden perbatasan Indonesia-Malaysia pada 13 Agustus silam.Alih-alih membebaskan dan melindungi warganya yang terjerat hukum dan tindak kekerasan di Malaysia, Duta Besar RI untuk Malaysia Da’i Bachtiar justru menggelar konferensi pers di Kuala Lumpur untuk menjamin keberadaan warga Malaysia di Indonesia (Kompas, 28/8). Demikian halnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: seakan menaikkan bendera putih dengan alpa mendesak permintaan maaf PM Malaysia Najib Tun Razak dalam surat kenegaraannya (27/8) dan dalam pernyataan resminya di Mabes TNI di Cilangkap (1/9).
Kesalahan mendiagnosis persoalan bakal berujung pada kekeliruan resep penyelesaian dan berakibat pada kesia-siaan perbuatan. Inilah yang kental terlihat dalam penuntasan insiden Bintan yang berujung pada kendurnya diplomasi luar negeri RI.Terdapat dua persoalan pokok pada dimensi tanggung jawab dan penyelesaian yang berbeda. Pertama, telah terjadi tindak pidana pencurian ikan oleh tujuh nelayan Malaysia. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, proses hukum wajib diselenggarakan. Sayangnya, kecerobohan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam hal menyerahkan alat bukti berupa lima kapal pencuri beserta alat tangkapnya telah mengaburkan delik hukum yang tersedia. Urusan makin rumit ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad justru menyegerakan pelepasan ketujuh pencuri ikan asal Malaysia itu.

Kedua, adanya pelanggaran kedaulatan: Marine Polis Malaysia (MPM) masuk diikuti dengan penyelenggaraan kebijakan negaranya di wilayah perairan RI dengan menembak dan menangkap tiga petugas KKP. Hasil investigasi petugas di Kepulauan Riau menunjukkan, insiden terjadi di wilayah perairan RI. Atas dasar ini, Menteri Luar Negeri RI lalu mengeluarkan nota protes kepada Malaysia dengan melampirkan titik koordinat lokasi di dalam peta wilayah Indonesia.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, tugas pokok TNI antara lain menegakkan kedaulatan negara dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan, jadi kurang pantas jika dalam kasus ini TNI terkesan pasif. Mengapa petugas KKP tak berkoordinasi dengan TNI? Mengapa petugas KKP tak mempersiapkan sistem pemosisian global (GPS) aktif sebagai alat bantu penegasan wilayah tugasnya?
Tunda perundingan

Terlepas dari daftar panjang pekerjaan rumah dan ketidakpatuhan di atas, nelayan dan petugas Malaysia telah melakukan dua kejahatan sekaligus: pelanggaran kedaulatan dan tindak pidana perikanan. Mencermati iktikad buruk bertetangga ala Malaysia itu, fakta ketidakprofesionalan petugas KKP hingga kegemaran kementerian saling lempar tanggung jawab, bahkan mengaburkan persoalan, sepantasnya DPR meminta Presiden menunda sementara perundingan batas wilayah RI-Malaysia yang dijadwalkan 6 September 2010 di kota Kinabalu, Malaysia.

Parameternya ialah proses hukum yang sedang berlangsung di Malaysia terhadap petugas MPM atas tindakan memasuki, menembak, dan menculik tiga petugas KKP di perairan Indonesia berketetapan hukum. Dalam hal pelanggaran kedaulatan, usul DPR kepada Presiden SBY untuk mendesak Malaysia meminta maaf adalah tepat guna memulihkan kedaulatan dan martabat bangsa Indonesia. Adapun terkait tindak pidana pencurian ikan oleh tujuh nelayan Malaysia, proses hukum tetap harus diselenggarakan. Jika tidak, tindakan hukum perlu diberikan kepada mereka yang terbukti melindungi, membantu, atau bahkan memerintahkan pelepasan ketujuh pencuri ikan dari wilayah hukum Indonesia.



Pada titik ini, patut kita cermati torehan Pong Hardjatmo di atap gedung DPR: Jujur, Adil, Tegas. Tiap pemimpin kementerian harus jujur terhadap kesalahan fatal yang ia lakukan hingga merusak kebanggaan khalayak menjadi warga Indonesia. Jika pemerintah bisa melepas ketujuh pencuri ikan asal Malaysia dalam tempo kurang dari 4 x 24 jam, sepantasnya juga pemerintah segera melepas nelayan Indonesia yang hingga kini masih mendekam di penjara Malaysia. Ketegasan diperlukan tak hanya kepada nelayan dan aparat hukum Malaysia, tetapi juga kepada aparat pemerintah yang terbukti gagal menjalankan tugas yang dimandatkan undang-undang kepadanya. Jika bisa terselenggara, Presiden tak lagi terjebak pada frase akan, tetapi sungguh telah mengembalikan kejayaan diplomasi Indonesia.

M Riza Damanik Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Sumber : Kompas,3,9,2010.

Tidak ada komentar: