Jumat, 10 Mei 2013

Memahami Persaingan Politik Malaysia | KawasanPerbatasan.com



Memahami Persaingan Politik Malaysia 



Oleh Hamdan Daulay[1]
Pada 5 Mei 2013, Malaysia telah melaksanakan pemilu untuk menentukan pemimpin politik lima tahun ke depan. Sejak merdeka pada tahun 1957 hingga saat ini, Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) selalu menjadi partai pemenang dan berkuasa di Malaysia. Namun, pada Pemilu 2008 yang lalu, UMNO dikejutkan koalisi partai oposisi—Democratic Action Party, Parti Islam Se-Malaysia (PAS), dan Partai Keadilan Rakyat (PKR)—yang mampu meraih 82 kursi dari total 222 kursi di parlemen.
Sebelumnya, UMNO selalu dominan dengan menguasai lebih dari dua pertiga kursi parlemen. Keberhasilan oposisi meraih 82 kursi parlemen dan menang di 5 negara bagian (Selangor, Kelantan, Kedah, Terengganu, dan Penang) itu merupakan pukulan telak bagi UMNO. Hal tersebut tidak lepas dari ketokohan Anwar Ibrahim yang mampu menghimpun kekuatan oposisi.
Persaingan politik di Malaysia tidak bisa lepas dari pengaruh budaya Melayu dan Islam yang begitu dominan. Budaya Melayu dan pengaruh kerajaan yang masih eksis membuat politik Malaysia menjadi lebih santun dan jarang terjadi demonstrasi yang anarki. Masyarakat Malaysia yang majemuk, baik dari segi agama, budaya, maupun etnis, tidak menjadi penghalang untuk membangun negara yang kuat dan rukun. Budaya Melayu dan nilai-nilai Islam yang dominan menjadi semakin kuat karena faktor kesultanan yang memberi dukungan kepada eksistensi Islam dan budaya Melayu.

Potensi konflik

Potensi konflik politik di Malaysia memang tidak bisa dihindari, khususnya antara UMNO yang dianggap sekuler dan PAS sebagai partai Islam. Kedua partai sama-sama memperebutkan pemilih dari massa Melayu dan Islam. Lebih-lebih pada masa kampanye politik, potensi konflik itu semakin nyata. UMNO sebagai partai sekuler berbasis etnis Melayu mengklaim berkomitmen kuat mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dan menuduh PAS sebagai partai tradisional yang menghambat kemajuan. PAS sebagai partai Islam mengklaim lebih Islami dan menuduh UMNO banyak menyimpang dari nilai-nilai Islam.
Sumber konflik kedua partai tersebut adalah isu-isu Islam dengan penafsiran masing-masing. Strategi politik itu wajar mengingat suara pemilih yang mereka perebutkan adalah masyarakat Melayu yang berkomitmen kuat kepada Islam. Bagi masyarakat Melayu, budaya mereka tak bisa dipisahkan dari Islam. Itu sebabnya, partai-parti yang berbasis Melayu, baik UMNO, PAS, maupun PKR, selalu membawa isu Islam dalam strategi politik mereka.
Bahkan, UMNO—baik di bawah kepemimpinan Mahathir Mohamad, Abdullah Ahmad Badawi, maupun Najib Razak—memunculkan gagasan baru Islam Hadhari. Konsep Islam Hadhari adalah menegaskan peran utama pengetahuan dalam Islam dan berupaya mencapai sepuluh prinsip utama mulai dari keimanan, keadilan, hingga kehidupan yang berkualitas.
UMNO sebagai partai penguasa memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menjawab berbagai kritik yang dilontarkan PAS terkait dengan kemajuan Islam di Malaysia. Meskipun UMNO sebagai partai sekuler, kebijakan politik UMNO banyak yang mendukung kemajuan Islam. Pemerintah mendirikan Bank Islam, Universitas Islam Internasional, Asuransi Islam, hingga mendukung kemajuan dakwah lewat berbagai dukungan dana dari tingkat desa hingga nasional.
Sejumlah tindakan nyata UMNO selama ini tetap dalam bingkai pluralisme sehingga tidak memicu gejolak. Sebagai partai penguasa, UMNO bisa lebih leluasa membuat sejumlah kebijakan yang menguntungkan semua lapisan masyarakat, apa pun etnis dan agamanya. UMNO yang dominan etnis Melayu tidak hanya mengutamakan pembangunan untuk Melayu dan Islam, tetapi juga bagi etnis China dan India. Dengan demikian, nilai-nilai pluralisme di Malaysia dikelola dengan baik dalam prinsip kesatuan.
Bagi PAS sebagai partai oposisi, sejumlah kebijakan politik yang dibuat pemerintah/UMNO hanyalah strategi politik untuk memengaruhi masyarakat Melayu. Menurut PAS, dukungan UMNO terhadap Islam belum menyentuh esensi Islam.

Negara bernilai Islam

Perjuangan politik PAS adalah mendirikan negara yang konsisten dengan nilai-nilai Islam. Namun, idealisme itu tampaknya sulit diwujudkan di tengah pluralisme masyarakat. PAS dinilai sektarian sehingga sulit diterima masyarakat yang mendambakan keutuhan dan persatuan bangsa.
Melihat persaingan politik yang terjadi antara UMNO dan PAS dengan mengangkat isu-isu keislaman, sesungguhnya yang lebih dominan lagi adalah aspek penafsiran. Bagi UMNO, perjuangan politik untuk memajukan Islam di Malaysia tidak harus dengan menjadikan Malaysia negara Islam, tetapi yang lebih penting justru esensi nilai-nilai Islam bisa diaktualisasikan dalam berbagai kebijakan politik.
Bagi PAS, perjuangan Islam itu harus diwujudkan secara formal dengan menjadikan Malaysia negara Islam. Dalam hal ini, UMNO tampaknya lebih realistis strategi politiknya di tengah kondisi rakyat Malaysia yang majemuk.

PM VI Malaysia dan Presiden VII RI 

Oleh Christianto Wibisono[2]
Hasil pemilu Malaysia 5 Mei 2013 meredupkan karier politik Anwar Ibrahim yang gagal menjadi perdana menteri ketujuh Malaysia. Versi klenik Notonegoro (yang dipaksakan di Indonesia sebagai Soekarno, Soeharto, dan seterusnya) punya ekuivalen Rahman (dari PM pertama Malaysia Tunku Abdul Rahman, lalu Tun Abdul Razak, Husein Onn [ipar Tun Razak], Mahathir Mohamad, Abdullah Ahmad Badawi, dan Najib Razak [putra Tun Razak]). Anwar Ibrahim selalu berusaha menempatkan dirinya pada abjad ”A” atau ”N” dari akhiran Rahman. Gagalnya Anwar menjatuhkan petahana Najib Razak mengisyaratkan pertarungan dinasti politik Malaysia akan dilanjutkan oleh Mukhriz Mahathir, yang dibantu ayahnya merebut Kedah dari oposisi Pakatan Rakyat.
Putri Anwar Ibrahim, Nurul Izzah, bertahan dan akan mengulangi peran Megawati pada politik Malaysia. Namun, Khairy Jamaluddin, menantu Abdullah Ahmad Badawi, juga mengintai kursi PM. Sementara itu, ayah beranak Lim Kit Siang dan Lim Guan Eng memimpin Partai Aksi Rakyat (DAP) merebut 38 kursi, lebih besar daripada Partai Keadilan Rakyat (30) dan Partai Islam se-Malaysia (21). Koalisi Pakatan Rakyat hanya memperoleh 89 kursi dan Barisan Nasional menguasai 133 dari 222 kursi DPR, membuyarkan impian Anwar Ibrahim menjadi PM ketujuh Malaysia.

Selalu menjiplak

Dalam banyak hal, Malaysia selalu meniru dan menjiplak Indonesia, tetapi dengan sentuhan terakhir yang lebih baik sehingga murid mengalahkan guru. Bahkan, dalam hal yang kurang terpuji, seperti diskriminasi rasial dan etnis, Kuala Lumpur dan Ja- karta selalu merujuk atau menjiplak dan mengulangi kesalahan yang sama sebelum bertobat mengobati kekeliruan yang memacetkan kehidupan masyarakat keseluruhan. Lima puluh tahun yang lalu, mahasiswa ”asli” merusak sepeda motor mahasiswa keturunan Tionghoa di Bandung yang dikenal sebagai insiden rasialis 10 Mei 1963. Di antara korban yang frustrasi dan mengungsi ke luar negeri adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Yap Tjwan Bing.
Empat tahun kemudian, Kuala Lumpur dilanda kerusuhan rasial akibat kekalahan UMNO dalam pemilu 13 Mei 1969 oleh DAP. Wakil Perdana Menteri Tun Abdul Razak mengudeta PM Tunku Abdul Rahman, mirip Soeharto menggulingkan Bung Karno, dan memperkenalkan New Economic Policy, aksi afirmatif untuk bumi putera Melayu, mengacu pada politik Benteng, proteksi pengusaha asli pribumi di Indonesia dasawarsa 1950-an. Hubungan etnis di Malaysia mirip dengan Lebanon, api dalam sekam, dan insiden 13 Mei selalu dipakai sebagai momok untuk tidak menerapkan demokrasi secara benar.
Indonesia di bawah Soeharto menyapu masalah di bawah karpet yang kemudian meledak dalam pemerkosaan di Jakarta, 13 Mei 1998, yang hingga detik ini belum terungkap dalang politiknya, kecuali peradilan terhadap polisi penembak mahasiswa Trisakti dan penculik aktivis mahasiswa. Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo adalah Kapolres Jakarta Barat waktu itu. Calon presiden dari Partai Gerindra, Prabowo, Pangkostrad waktu itu, sudah diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Militer di bawah KSAD Subagyo. Adapun Panglima TNI juga menjadi calon presiden dari Partai Hanura.
Menarik bahwa Wakil Menteri Hukum dan HAM mengungkapkan kembali isu peradilan HAM dalam rangka ratifikasi Statuta Roma oleh Pemerintah RI. Bersama media yang meliput luas, Wakil Menteri bertemu dengan Ketua Mahkamah Peradilan HAM Internasional di Den Haag. Di DPR trio Partai Demokrat, PDI-P, Golkar, menyiasati pembentukan peradilan HAM tentu saja untuk mendulang suara pemilih 2014 agar tak memilih capres bermasalah yang bisa tersandung Statuta Roma.
Politik tak pernah sepi dari pengkhianatan. Perubahan sikap bunglon membingungkan masyarakat yang polos dan lugu ser- ta perselingkuhan Ken Arok yang juga universal. Di Malaysia, Barisan Nasional selalu mengingatkan bahaya 13 Mei 1969 terulang jika golongan Tionghoa menuntut emansipasi hak dan menggugat privilese ketuanan Melayu. Namun, proteksi terhadap Bumiputera Melayu sejak Tun Razak sudah berlangsung 30 tahun dan harus diakhiri pada tahun 2000, ternyata dilestarikan oleh elite Mahathir dan konco-konconya sehingga rakyat menyebut dominasi UMNOputera, sedangkan bumiputera jelata tetap saja melarat.

Mahathir belajar dari Soeharto

Mahathir belajar jadi diktator seperti Soeharto dengan korban pesaing yang jatuh dari sampingnya, mulai dari Musa Hitam, Razaleigh Hamzah, Ghafar Baba, dan kemudian Anwar Ibrahim yang dituduh sodomi. Mahathir tidak memakai tuduhan korupsi karena akan ditertawakan orang bahwa Mahathir sendiri adalah biang koruptor. Karena itu, ia memakai jurus sodomi Anwar terhadap sopirnya sendiri. Mahathir melakukan jurus sodomi karena Anwar Ibrahim menggunakan jurus Reformasi Habibie untuk mendongkel Mahathir.
Di AS, Obama melakukan terobosan pada 2008 dengan menjadi presiden kulit hitam pertama. Di Indonesia, Basuki Tjahaja Purnama menjadi wakil gubernur terpilih DKI Jakarta, suatu preseden baru dalam sejarah politik RI. Sejak zaman revolusi sudah ada menteri dari keturunan Tionghoa. Namun, wakil gubernur terpilih adalah terobosan yang mungkin belum sekelas Obama: jelas Indonesia menjadi contoh sukses demokrasi yang kompatibel dengan Islam dan Islam Indonesia kompatibel dengan toleransi, multikultur, dan pluralisme.
Dengan kemenangan yang diprotes Anwar Ibrahim, Barisan Nasional Najib Razak mirip Soeharto yang ngotot pada Pemilu 1997 dan Harmoko yang mengangkat lagi Soeharto pada 12 Maret, kemudian berbalik memunggungi Soeharto 18 Mei 1998. Pemilihan presiden ketujuh RI juga diwarnai terobosan kebekuan oligarki kartel politik. Duet Jokowi-Basuki menghancurkan mitos koalisi parpol yang, meskipun bergelimang uang, tidak bisa membendung tsunami arus bawah rakyat yang sadar akan hak dan kualitas pemimpin. Konglomerat dikerahkan ke JIEP untuk mendukung petahana, tetapi suara karyawan dan masyarakat jauh lebih besar dari suara elite. Karena itu, tergusurlah simbol status quo oleh figur jelata Jokowi-Basuki.
Salah satu kritik kepada Jokowi, selain yang ditulis Sunny Tanuwidjaja di rubrik ini pada 6 Mei lalu, adalah bahwa dia kurang ”intelektual” untuk jadi calon presiden. Ronald Reagan adalah aktor kelas dua yang mungkin secara kualitas kalah dari Richard Burton sebagai aktor. Namun, Reagan adalah komunikator politik yang paham arus bawah dan mengantarkan program. Karena itu, dia terpilih dua kali masa jabatan dan dinilai sebagai salah satu presiden Amerika Serikat dengan kinerja terbaik. Lagi pula, di eranya komunisme bangkrut dan Perang Dingin selesai setelah Tembok Berlin dihancurkan oleh grass root antidiktator. Elite politik Indonesia harus belajar dari sejarah kepresidenan Republik Indonesia yang, harus diakui, selalu penuh intrik dan membingungkan masyarakat.


[1] Hamdan Daulay Dosen UIN Yogyakarta; Peneliti Politik UMNO dan PAS di Malaysia pada 2006-2010 (kompas 8 Mei 2013) 
[2] Christianto Wibisono Pendiri Institute Kepresidenan Indonesia (Kompas 8 Mei 2013)

Tidak ada komentar: